Tuesday, November 17, 2009

PELAJARAN DARI IBADAH QURBAN

Pelaksanaan ibadah haji maupun ibadah qurban keduanya mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan keluarga nabi Ibrahim untuk dijadikan pelajaran sepanjang masa. Bila disimak kembali satu episode menarik dari keluarga panutan ummat tersebut, sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Shaffat/37 ayat 100-110, dapatlah dipahami betapa beratnya perintah Allah yang dibebankan kepada nabi Ibrahim. Bila direnungkan rangkaian ayat mengenai penyemblihan Isma’il tersebut, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut.
Berikut ini beberapa di antaranya.

1. Qurban dan Kecintaan kepada Allah

Sudah berpuluh tahun berumah tangga, Ibrahim belum juga mendapatkan anak. Cukup lama ia mendambakan anak sebagai pelanjut risalah tauhid. Keinginan tersebut akhirnya terkabul jua setelah ia berusia senja. Bisa dibayangkan betapa senang dan gembiranya hati Ibrahim. Betapa besarnya cintanya kepada si buah hati yang telah lama dinantikannya itu. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Belum lama berlangsung cinta dan kasih sayang antara kedua bapak dan anak itu, kemesraan mereka itu harus segera diakhiri dengan datangnya titah Allah swt. Isma’il harus disemblih atas perintahNya! Sebagai manusia, Ibrahim pun mengalami konflik batin yang hebat dalam dirinya. Tetapi beliau menyadari sepenuhnya bahwa cinta kepada anak, istri dan harta tidak dapat disejajarkan dengan atau melebihi cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala-galanya, termasuk cinta kepada diri sendiri.

Manusia memang dibolehkan mencintai sanak keluarga, harta benda, pangkat dan sebagainya karena semua itu bersifat alamiah, yakni sesuai dengan fitrah manusia. Setiap orang memiliki keinginan dan kecendrungan seperti itu (QS. Ali Imran/03: 14). Bagi seorang muslim, cinta kepada Allah tiada bandingannya. Cintanya kepada Allah melebihi cintanya kepada apapun dan siapapun. Dalam al-Qur’an ditegaskan: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. al-Baqarah/02: 165). Bagi seorang muslim, cinta kepada Allah tiada batasnya, sementara cinta kepada yang lain selain Allah mesti ada batasnya, yaitu sejauh yang diizinkan dan diriha’i oleh Allah. Nabi Ibrahim dapat menempatkan sepenuhnya posisi cinta kepada anak dibandingkan cinta kepada Allah. Maka Ibrahim memutuskan menerima dengan ikhlas perintah Allah untuk mengorbakan putranya. Isma’il pun demikian pula, ia rela menerima perintah penyemblihan itu (QS. al-Shaffat/37: 102). Ia menyadari bahwa cinta kepada Allah mesti melebihi cintanya kepada jiwa dan raganya .

Inilah pelajaran cinta yang sejati yang diperoleh dari kisah keluarga teladan. Pelajaran ini harus selalu diulang-ulang. Teladan cinta ini sangat relevan untuk kondisi sekarang. Manusia zaman modern sekarang tidak lagi menghiraukan batas-batas antara perintah dan larangan agama demi memburu kehidupan duniawi. Karena kecintaan kepada dunia yang berlebihan, banyak orang yang rela mengorbankan apa saja, termasuk aqidah dan harga diri. Bila Ibrahim rela mengorbankan Isma’il buah hatinya, mampukah kita mengorbankan “isma’il-isma’il” yang kita miliki demi perintah Allah?

2. Qurban dan Semangat Pengorbanan

Pelajaran kedua yang dapat dipetik dalam rangkaian ayat 100-110 surat al-Shaffat/37 adalah berkaitan dengan qurban (penyemblihan hewan ternak), yang kemudian dilembagakan sebagai ibadah mahdah setiap tahun bagi ummat Islam. Qurban berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata kerja qariba yang berarti dekat atau mendekatkan diri. Seseorang yang mencintai orang lain akan berusaha mendekatkan diri kepada orang yang dicintainya, walaupun ia harus mengorbankan sesuatu yang ia milikinya. Dalam pengertian ini, seorang muslim yang mencintai Allah akan berusaha mendekatiNya dengan apa saja yang diinginkanNya. Demi yang kita cintai, kita harus rela berkorban untuknya.

Ibadah qurban dilembagakan dengan menyemblih hewan ternak setiap ‘Idul Adha, sebagaimana perintahNya: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah (QS. al-Kautsar/108: 02). Secara formal, kita hanya menyemblih hewan pada Hari Raya Qurban atau Hari Tasyriq. Namun secara spritual, kita dapat menangkap maksud yang lebih luas, yaitu bagaimana agar kita dapat melatih semangat berkorban demi mendekatkan diri kepada Allah. Semangat berkorban bisa diwujudkan dalam bentuk korban waktu, korban tenaga, korban pikiran, korban harta atau apapun yang dapat dikorbankan untuk memperjuangkan kebaikan di muka bumi.

3. Qurban dan Pendidikan Anak

Pelajaran ketiga dari sejarah ibadah qurban adalah keberhasilan seorang ayah dalam mendidik keluarganya menjadi keluarga yang patuh dan taat. Sebagai anak, Isma’il bukan hanya telah berbakti kepada orang tua, tetapi juga seorang yang memiliki iman yang kuat dan tangguh kepada Allah. Kesediaan Isma’il untuk dikorbankan oleh ayahnya menunjukkan betapa tingginya kualitas iman yang dimilikinya. Semua itu adalah berkat hasil didikkan dari orang tua yang bijaksana. Hanya orang tua yang memiliki kualitas jiwa yang tinggi pula yang dapat melahirkan anak-anak dengan kualitas yang tahan uji. Perhatikanlah bagaimana Isma’il menanggapi berita penyemblihan dirinya. Ia bukan saja dapat menerima dengan tabah, tetapi juga turut menghilangkan kebimbangan bapaknya jika memang ada. Ia yakinkan bapaknya bahwa ia akan sabar menerima keputusan dari Allah. Dapatkah kita membayangkan sikap yang sama pada anak-anak kita bila kita dihadapkan kepada pilihan yang amat berat seperti yang dialami oleh nabi Ibrahim? Dapatkah kita mendidik anak-anak kita menjadi anak yang shaleh seperti halnya Isma’il?

Untuk mendapatkan anak yang shaleh, orang tua harus bersungguh-sungguh memberikan pendidikan yang utuh (tarbiyah mutakamilah), yaitu pendidikan yang seimbang antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. Kepada anak harus diberikan pedidikan aqidah, ibadah dan akhlak, disamping mengisi kebutuhan intelektualnya dengan bermacam-macam ilmu pengetahuan dan teknologi, supaya fitrah keberagamaannya dapat dipelihara dan dikembangkan menjadi muslim yang kaffah. Pendidikan lengkap kepada anak adalah kebutuhan yang sangat mendesak, terutama sekali di zaman sekarang ini yang penuh dengan berbagai macam kerusakan dan kemerosotan moral dan akhlak.

4. Qurban dan Kemulian Manusia

Dalam sejarah penyemblihan anaknya Isma’il, nabi Ibrahim telah membuktikan bahwa manusia pun dapat dikorbankan jika panggilan Allah telah datang. Tetapi akhirnya Allah membatalkan penyemblihan Isma’il itu dan menggantinya dengan seekor kibas yang gemuk, sebagaimana diterangkan dalam berfirmanNya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (QS. al-Shaffat/37: 107-108). Melalui kejadian tersebut, Allah bermaksud menghapus tradisi pengorbanan manusia oleh manusia. Pembatalan itu sekaligus membuktikan kasih sayang Allah kepada manusia karena Dia telah menjadikan mereka sebagai makhluk yang mulia.

No comments:

Post a Comment

Alifia Ikutan Nari katanya