Redefinisi pembangunan bukan merupakan hasil dari sebuah proses pemikiran yang sebentar melainkan hasil dari sebuah pengalaman puluhan tahun dan pemikiran panjang dalam mengamati perekonomian. Sebelum tahun 1970-an, tinggi rendahnya kemajuan pembangunan di suatu negara hanya diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan Gross National Product (GNP) yang diyakini akan memberikan efek menetes hingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi. Namun, pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an menunjukkan bahwa banyak di antara negara Dunia Ketiga yang berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Hal inilah yang melatarbelakangai perlunya meredefinisi pembangunan.
Kini, pembangunan tidak lagi diukur dengan GNP yang tinggi semata tetapi memasukkan pula paramater penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan dan penyediaan lapangan kerja. Semuanya harus berjalan seiring. Tidak dapat disebut pembangunan jika GNP tinggi namun kemiskinan atau pengangguran dan ketimpangan pendapatan tetap tinggi. Prof. Dudley Seers pernah mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai pembangunan suatu negara yang harus diajukan adalah: apa yang terjadi dengan kemiskinan penduduk di negara itu? Bagaimana dengan tingkat penganggurannya? Adakah perubahan-perubahan berarti yang berlangsung atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan? Jika ketiga permasalahan tersebut selama periode tertentu sedikit banyak telah teratasi, maka tidak diragukan lagi bahwa periode tersebut memang merupakan periode pembangunan bagi negara yang bersangkutan. Akan tetapi, jika satu, dua, atau bahkan semua dari ketiga persoalan mendasar tersebut menjadi semakin buruk, maka negara itu tidak bisa dikatakan telah mengalami proses pembangunan yang positif, meskipun selama kurun waktu tersebut pendapatan per kapitanya mengalami peningkatan hingga dua kali lipat. Dengan definisi baru ini diharapkan lebih merepresentasikan makna pembangunan yang sebenarnya. Bukan lagi prestasi semu yang membuat orang berdecak kagum tetapi tidak didukung oleh fundamental ekonomi yang kuat. Kemiskinan tetap merajalela, pengangguran dan ketimpangan pendapatan semakin kronis
Sayangnya, pada kebanyakan negara Barat, kapitalisme telah menjadi wujud akhir evolusi ideologi mereka. Meskipun tanda-tanda ketidakmampuan ideologi ini sudah di depan mata, mereka tidak punya jalan lain tentang bagaimana solusi yang tepat untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan yang mereka hadapi. Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Ekonomi syari’ah muncul menjadi jawaban alternatif segala persoalan pembangunan
Awal 90-an menjadi momentum kebangkitan ekonomi syari’ah di Indonesia. Ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, kajian-kajian mengenai model ekonomi alternatif ini semakin menjamur. Ditambah lagi dengan krisis ekonomi sejak tahun 1997, kepercayaan terhadap ekonomi konvensional yang kapitalistik semakin lemah. Mungkinkah ekonomi syari’ah adalah jawaban dari persoalah-persoalan pembangunan di Indonesia?
Banyak orang memandang positif kehadiran ekonomi syari’ah. Perbankan syari’ah hadir dengan kinerja yang tetap baik meskipun kebanyakan perbankan konvensional dilanda krisis kepercayaan, krisis likuiditas dan lain-lain. Rasio pembiayaan terhadap simpanan lebih dari 100 persen dan kredit macet yang dialami oleh bank-bank syari’ah di bawah 5 persen. Jauh lebih kecil daripada bank-bank konvensional.
Kehadiran bank pertama berbasis syari’ah ini diikuti oleh euphoria kehadiran lembaga-lembaga ekonomi syari’ah lainnya. Asuransi syari’ah dan pasar modal syari’ah yang menawarkan investasi halal dan baik menurut Islam menambah warna serta dinamika konstelasi perekonomian. Sekarang mulai hadir pula pegadaian syari’ah. Dan yang tak kalah pentingnya adalah makin maraknya pertumbuhan lembaga-lembaga pengelola zakat dalam perekonomian.
Kehadiran lembaga sosial ekonomi ini seharusnya semakin melengkapi dan memperjelas peran maslahat serta keadilan yang inheren pada ekonomi syari’ah. Tetapi, sampai saat ini belum ada satupun lembaga yang mengawasi kinerja ekonomi syari’ah secara keseluruhan sekaligus menilai efektifitas dan mengukur efek multiplier ekonomi syari’ah pada pembangunan di Indonesia.
Merujuk kepada definisi pembangunan yang diajukan oleh Prof. Dudley Seers, pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab adalah seberapa besar kontribusi ekonomi syari’ah terhadap pengentasan kemiskinan 60 persen penduduk Indonesia. Atau bagaimana ekonomi syari’ah menanggulangi masalah pengangguran dan ketimpangan pendapatan. Pertanyaan lain yang mungkin diajukan, bagaimana pertumbuhan peran ekonomi syari’ah dalam pembangunan. Seberapa besar akselarasi peran ekonomi syari’ah dibandingkan ekonomi konvensional. Dan sudah layakkah sistem konvensional bertransformasi menjadi sistem ekonomi syari’ah. Di sinilah, peran pemantau ekonomi syari’ah dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
Lembaga pemantau ekonomi syari’ah jelas berbeda dengan lembaga pemantau lainnya. Lembaga pemantau ekonomi syari’ah tidak perlu dimaknai secara politis karena lembaga ini bukan lembaga politik yang memiliki kepentingan-kepentingan pragmatis-politis. Peran lembaga ini lebih dominan pada pembuktian bahwa ekonomi syari’ah betul-betul membawa keadilan dan kemaslahatan secara kuantitatif. Hingga pada saatnya nanti, tidak ada alasan lagi untuk meremehkan peran ekonomi syari’ah dan berpaling darinya.
Lembaga pemantau ekonomi syari’ah juga merupakan sarana pengukur efektifitas penerapan ekonomi syari’ah dalam mengatasi masalah-masalah pembangunan. Seberapa efektif peran yang dimainkan oleh ekonomi syari’ah untuk mewujudkan maqashid (maksud atau tujuan yang terkandung dalam penerapan ekonom syari’ah) adalah hal yang perlu digali lebih dalam. Bahkan jika memungkinkan, pembangunan tidak diukur oleh kekayaan materi semata tetapi juga meliputi peningkatan keshalehan masyarakatnya.
Syari’ah telah disempurnakan Allah SWT karena itu kekurangan-kekurangan yang terjadi bukan merupakan bukti kelemahan syari’at melainkan ketidakmampuan atau kesalahan manusia dalam mengaplikasikannya. Dengan keberadaan lembaga pemantau ekonomi syari’ah diharapkan semua celah yang memungkinkan terjadinya kelalaian dan kesalahan dapat dievaluasi demi kebaikan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishawab.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Motivasi Spiritual Karya pakar neurosains dan antropolog Terence Deacon memperlihatkan bahwa pencarian makna yang membuat manusia butuh b...
-
Terkadang dalam kehidupan sehari hari,para suami suka merendahkan peran istri dalam rumah tangga. Padahal pada kenyataannya istri sangat ...
-
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karen...
No comments:
Post a Comment