A. Madrasah sebagai institusi Pendidikan
Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Disamping lembaga bersifat umum seperti : masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kehkasan orientasinya. Secara umum, pada abad keempat hijrah dikenal beberapa sistem pendidikan (madaris tarbiyah) Islam. Hasan Abd, Al-Al, menyebutkan lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut : Sistem pendidikan Mu’tazillah, Sistem Pendidikan Ikhwan, Al-Safa, Sistem Pendidikan Bercorak Filsafat, Sistem Pendidikan Bercorak Tasawuf, dan Sistem Pendidikan Bercorak Fiqh. Hasan Muhammad dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin juga menyebutkan lima sistem, masing-masing Sistem pendidikan bercorak teologi, sistem pendidikan bercorak syi’ah, sistem pendidikan bercorak filsafat, sistem pendidikan Bercorak tasawuf, sistem pendidikan bercorak Fiqh (Hadits). Pembagian yang terakhir ini memasukkan sistem Ikhwan al-Safa ke dalam corak Filsafat dan memunculkan Syi’ah, yang sebenarnya sedikit atau banyak telah terlihat dalam Ikhwan Al-Safa.
Institusi yang dipakai oleh masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Failasuf menggunakan : Dar Al-Hikmah, Al-Muntalinah, Warraqi’in.
2. Mutasawuf menggunakan Al-Zawaya, Al-Ribat, AL-Masajid dan Halaqat Al-Dzikir.
3. Syi’iyyin menggunakan Dra Al-Hikmah, Al-Masjid, pertemuan rahasia.
4. Mutakallimin menggunakan Al-Masajid, Al-Maktabat, Hawarit, Al Warraqin dan Al-Muntadiyat.
5. Fuqaba’ dan Ahli Hadits : Al-Katatib, Al-Madaris, Al-Masajid.
Melihat data diatas, jelaslah madrasah merupakan tradisi sistem pendidikan bercorak fiqh.
Masing-masing sistem diatas memiliki institusi yang khusus walaupun umumnya memanfaatkan masjid. Namun, demikian madrasah dapat dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan bercorak fiqh dan hadits, setidaknya pada masa Abbasiyah di Baghdad. Dengan kekhasannya itu, pada masa kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, madrasah merupakan lembaga pendidikan par excelene. Setelah perkembangan masjid dan kuttab, madrasah berkembang sangat pesat. Dalam sejarah Islam dikenal banyak sekali tempat dan pusat pendidikan dengan jenis, tingkatan dan sifatnya yang khas. Dalam buku Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Nuzumuba, Falsafatuba, Tariktuba, Ahmad Syalabi menyebutkan tempat-tempat itu sebagai berikut : Al-Kuttab, Al-Qushur, Hawanit, Al-Waraqiin, Manazil, Al-‘Ulama, Al-Badiyah dan Madrasah. Ia membagi lembaga institusi-institusi pendidikan Islam tersebut menjadi dua kelompok, yaitu kelompok sebelum madrasah, dan sesudah madrasah. Hasan Abd Al-‘Al menyimpulkan bahwa “madrasah adalah institusi yang timbul pada abad keempat hijriyah. Dan menganggap sebagai “Era baru dari tahapan perkembangan institusi pendidikan Islam. Jadi, menurutnya madrasah sudah ada sebelum Masa Nizam Al-Mulk. Hal penting lain, yang perlu dicatat dari gambaran diatas, ialah bahwa institusi pendidikan Islam mengalami perkembangan, sesuatu dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat Muslim di kala itu. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat ditandai oleh :
1. Perkembangan Ilmu. Kaum Muslimin pada masa awal membutuhkan pemahaman Al-Qur’an sebagai apa adanya, begitu juga membutuhkan keterampilan membaca dan menulis. Ibu Khaldun mencatat bahwa pada awal kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis hanya berjumlah 17 orang. Semuanya laki-laki, pada masa Urmawi, masyakat Muslim telah banyak memperhatikan Al-‘Ilm Al-Maqliyyah yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an al-Karim yang meliputi Al-Tafsir, Al-Qiraat, Al-Hadits dan Usul Fiqh, dan Al-Ulum Al-Lisamiyah seperti Ilm Al-Lughah, Ilm Al-Nahw, Ilm Al-Bayan dan Al-Abad. Pada masa Abbasiyah, sangat mungkin masyarakat muslim mulai berhubungan dengan Al-Ulum Al-Aqliyah atau ilmu kealaman, seperti kedokteran, filsafat dan matematika.
2. Perkembangan kebutuhan. Pada masa awal, yang menjadi kebutuhan utama ialah mendakwahkan Islam. Karena itu, sasaranpun pada mulanya ditujukan pada orang-orang dewasa.
Jika diamati lebih lanjut, ternyata tempat-tempat pendidikan diatas, kecuali madrasah, bukan tempat yang disiapkan khusus untuk pendidikan. Masjid bahkan merupakan tempat yang multi guna. Selain fungsi utamanya untuk ibadah, masjid menjadi sentrum kegiatan masyarakat Muslim.
Fungsi masjid sebagai tempat pendidikan dalam perkembangannya dipertimbangkan kembali, sehingga mendorong dibukanya lembaga-lembaga pendidikan baru.
Beberapa alasan yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan di masjid dipertimbangkan lagi ialah
1. Kegiatan pendidikan di masjid dianggap telah mengganggu, fungsi utama lembaga itu sebagai tempat ibadah..
2. Berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Timbulnya orientasi baru dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagian guru mulai berfikir untuk mendapatkan rizki melalui kegiatan pendidikan.
Mengapa proses transformasi dari masjid ke madrasah, berkembangan beberapa teori yang scara sepintas berbeda satu sama lain. Di antara teori yang ingin dikemukakan pada bagian ini adalah pendapat George Makdisi. Dalam sejumlah karya kesejarahannya, ia berkesimpulan bahwa perpindahan lembaga pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung, tetapi melalui tahapan perantara, yaitu masjid-khan. Teori ini agaknya menarik karena mepertimbangkan lembaga mesjid-khan sebelum lembaga-lembaga madrasah berkembang secara luas pada abad pertengahan.
Selain Makdisi, sarjana yang memberikan perhatian terhadap sejarah kelembagaan madrasah adalah Ahmad Syalabi. Menurutnya perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara langsung, tidak mamaki lembaga perantara. Perkembangan madrasah dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya dalam beribadah di masjid, maka kegiatan pendidikan dibuatkan tempat khusus yang dikenal dengan madrasah. Jika dilihat dari kelayakan masjid sebagai tempat pendidikan, yang dikaitkan dengan ibadah dan fasilitas pendidikan, seharusnya daur al-katub atau daur al-‘ilim menjadi alternatif. Demikian itu karena dilengkapinya tempat-tempat tersebut dengan asrama, tempat-tempat untuk belajar dan fasilitas-fasilitas lain untuk memungkinkan terjadinya perubahan dan diskusi. Apalagi, madrasah memiliki komponen-komponen bangunan yang hampir serupa dengannya. Yang membedakannya ialah bahwa madrasah mempunyai kelas belajar yang memegang cukup, sedangkan daur al-‘alim atau daur al-kutub memiliki perpustakaan yang lebih lengkap. Karena itu, dapat dimengerti apabila J. Pederson dan Youssef Eche berteori bahwa madrasah merupakan duplikasi dari lembaga pendidikan. Dar Al-Ilm yang sudah lebih dahulu berkembang di wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyyah. Jika Dar Al-Ilm dijadikan sebagai media pendidikan dan propaganda Syi’ah, maka madrasah merupakan lembaga-lembaga pendidikan dan sekaligus propaganda Sunni. Makdisi menolak teori ini. Menurutnya “Madrasah adalah lembaga pendidikan khas Islam (Sunni).
B. Asal-Usul dan Motivasi Pendirian Madrasah
Al-Maqrizi tampaknya mengira bahwa madrasah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Dalam karyanya Itti’adz, Al-Hunafa bi Akhbar Al-Aimmah Al-Fatimiyyah Al-Khulafa ia mengatakan bahwa “Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan tabi’in, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah hijriyah. Madrasah pertama yang didirikan pada abad kelima Hijriyah (ke-11 Masehi) itu ialah Madrasah Nizamiyah yang didirikan pada tahun 457 H. oleh Nizam Al-Mulk.
Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa pengaruh madrasah Nizamiyah melampai pengaruh madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya. Ahmad Syalabi, misalnya menjadikan pendirian madrasah Nizamiyah sebagai pembatas, untuk membedakannya dengan era pendidikan Islam sebelumnya. Era baru itu ialah pada adanya katentuan-ketentuan yang lebih jelas berkaitan dengan komponen-komponen pendidikan dan pada keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan madrasah. Madrasah Nizamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi dan pemerintah terlibat dalam menetapkan tujuan-tujuannya. Menggariskan kurikulum, memilih guru, dan memberikan dana yang teratur kepada madrasah.
Makdisi mempunyai pendapat yang lain, sekalipun menyetujui adanya peraturan-peraturan sebagai kelebihan madrasah, ia menganggap madrasah-madrasah Nizamiyah sebagai madrasah perseorangan. Dalam kaitan ini Nizam Al-Mulk adalah seorang pribadi yang mengelola madrasah untuk tujuan-tujuan sendiri. Jadi tidak ada keterlibatan perintah secara formal.
Dari kajian tentang pertumbuhan madrasah Nizamiyah dan mengikuti sejarah perkembangannya, kami dapat menentukan tiga tujuan utamanya. Pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah. Kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan madzhab Sunni dan menyebarkannya ke tempat-tempat lain, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
C. Teori Keilmuan Madrasah
Tercatat dalam sejarah, bahwa segera setelah wafatnya Rasulullah, persoalan yang pertama timbul dalam Islam adalah persoalan politik. Dari persoalan politik itu kemudian berkembang menjadi persoalan politik timbul mendahului perkembangan pemikiran, atau dengan kata lain menjadi pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah politik. Latar belakang sejarah yang demikian itu, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini, dominasi kepentingan politik telah menentukan bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di dalamnya.
Pendidikan Islam dalam pelajarannya, sangat dipengaruhi oleh dua arus pergumulan. Bidang politik dan pemikiran, yang saling berkaitan. Terutama sejak awal abad ke 3 Hijriah terdapat pertentangan antar pemikiran dalam Islam semakin tajam. Salah satu bentuk pengaruh dari adanya pergumulan bidang politik dan pemikiran itu ialah dijumpainya tempat-tempat pendidikan yang khusus dan sekaligus merupakan ciri aliran pemikiran tertentu. Sebagai misal, Dar Al-Hikmah, lebih menunjuk kepada pola pendidikan pengikut Syi’ah, Al-Zawaya dan Al-Ribat adalah khas sufi, sedangkan madrasah, pada awalnya merupakan lembaga pendidikan yang mendukung ulama fiqh dan hadits. Melalui kajian lebih dalam, tradisi keilmuan di madrasah ini dapat dilihat dari tiga hal yaitu transformasinya, aliran dan kecendrungan politik pemerintahnya. Dalam hal transformasi akan dapat dilihat sejauh mana madrasah mempertahankan elemen pendidikan masjid di satu pihak dan menambahkan elemen-elemen baru di pihak lain.
1. Aspek Transformasi Madrasah
Seperti telah diungkapkan sebelumnya madrasah merupakan transformasi dari masjid, bukan dari Duar Al-Ilm, madrasah tetap menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat lanjutan.
Secara fisik madrasah pada abad pertengahan Islam pada dasarnya adalah bangunan masjid yang ditambah dengan lokal-lokal khusus untuk pendidikan (‘iwan) dan penginapan (pemondokan). Di samping itu madrasah mencerminkan transformasi dalam bidang administrasi dan managemen. Berbeda dengan masjid, madrasah telah mengarah pada sistem pengelolaan pendidikan yang lebih professional.
Jika dilihat dari kesamaan fungsi dan tujuannya, terdapat indikasi, bahwa transformasi struktur itu tidak diikuti oleh tranformasi substansi keilmuan yang berarti. Dari sisi keilmuan, ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah masih merupakan kelanjutan dari yang diselenggarakan di masjid.
Di masjid, pada awalnya diajarkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah agama. Kemudian mencakup juga “al-‘ulum al-ajmabiyyah” sebagai hasil dari pertemuan dengan budaya asing. Tetapi masih bersifat minor. Ilmu bumi, matematika, mantiq, falsafat dan “tib” memang diajarkan di beberapa masjid, tetapi dalam jumlah masjid yang sangat terbatas.
2. Aspek Aliran Keagamaan
Pada akhir abad ke 4 atau awal abad ke 5 Hijriyah, pada waktu timbulnya madrasah, perkembangan keilmuan masyarakat Muslim dapat dikatakan telah mencapai tahap sempurna. Tidak sampai 50 tahun dari akhir dinasti Usmawi hingga awal dinasti Abbasiyah, hampir seluruh ilmu telah berhasil disusun, baik itu menyangkut al-’ulum al-naqliyah yang mencakup ilmu-ilmu Al-Qur’an, Hadits, Fiqh, Ilmu bahasa dan Ilmu Sastra dengan berbagai ancamannya, maupun al-‘ulum al-‘aqliyah seperti Matematik, Mantiq, Falsafat dan Kalam.
3. Aspek Politik Pemerintah
Madrasah merupakan babak baru dalam pendidikan Islam karena pemerintah telah iktu terlibat didalamnya. Keterlibatan tersebut sangat erat kaitannya dengan tujuan pemerintah, sehingga pendidikan merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Dari sudut keilmuan, keterlibatan pemerintah dalam Madrasah Nizamiyah telah mengarahkan madrasah hanya kepada ilmu yang mendukung satu mazhab dari empat madzhab ini dengan mengadaikan bahwa orientasi Sunni secara umum memang merupakan kecendrungan rakyat atau kehendak sejarah.
Yang lebih penting lagi, karena pemilihan materi pelajaran memiliki kaitan dengan tujuan-tujuan politis, atau tujuan-tujuan sektarian, maka teknik penyampaiannya pun cenderung tertutup dan bersifat indoktrinasi. Ideologisasi dari materi-materi pelajaran tidak memberikan kesempatan untuk mengembangkan cara berfikir yang bebas, sejalan dengan itu, banyak diantara peserta didik di madrasah terpaksa beralih madzhab agar memperoleh keuntungan dari pendidikan madrasah yang bersifat demikian.
Dilihat dari segi ini, pendidikan di madrasah merupakan satu kemunduruan dibanding di masjid. Di masjid seseorang memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan memilih halaqah sesuai dengan minatnya, tanpa terkena sangsi.
D. Pengaruh Madrasah
Sebagai suatu ide, madrasah mempunyai pengaruh yang luas dan monumental. Dengan mengutip pernyataan al-Dailami, Abd Ghaini Abud mengatakan “pendirian universitas-universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nizamiyah), George Makdisi dalam beberapa tulisannya membuktikan bahwa tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dan tradisi madrasah.
Di dunia Islam, besarnya pengaruh madrasah merupakan fenomena umum. Beberapa pejabat pemerintah yang sering disebut memiliki kaitan dengan ide dan penyebaran madrasah ialah : Nizam al-Mulk.
Dengan adanya perhatian, atau campur tangan pemerintah, madrasah segera tersebar dengan luas. Banyaknya saudagar, ulama ataupun yang lainnya juga mendirikan madrasah dengan model dan standard yang relatif sama. Al-Azzawi mencatat bahwa pada masa Saljuk terdapat lebih dari tiga puluh madrasah yang didirikan oleh mereka yang tidak memiliki kaitan dengan penguasa. Ahmad Syalabi mencatat enam belas madrasah pada masa Dinasti Ayyubiyun yang didirikan oleh perorangan. Namun kelihatan, tiga diantaranya ada hubungannya dengan penguasa atau kekuasaan.
Dengan itu, madrasah bukan hanya tersebar pada daerah amat luas di Timur, melainkan juga idenya telah terawatkan sehingga madrasah tetap eksis pada era modern. Selain faktor diatas, madrasah dapat diterima luas karena tujuan dan kurikulumnya yang sesuai dengan kecendrungan masyarakat ketika itu. Madrasah dianggap mewakili masyarakatnya. Hal itu dapat ditinjau dari sudut pandang sosial keagamaan maupun ekonomi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Motivasi Spiritual Karya pakar neurosains dan antropolog Terence Deacon memperlihatkan bahwa pencarian makna yang membuat manusia butuh b...
-
Terkadang dalam kehidupan sehari hari,para suami suka merendahkan peran istri dalam rumah tangga. Padahal pada kenyataannya istri sangat ...
-
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karen...
No comments:
Post a Comment