Friday, October 23, 2009

Menatap Masa Depan Perbankan Syariah

Adanya bank syariah merupakan bentuk perjuangan umat Islam Indonesia dalam pemikiran ekonomi (fikrah iqtishadiyyah) yang menginginkan adanya lembaga keuang-an yang beroperasi sesuai dengan syariah Islam. Realita saat ini memperlihatkan bahwa sistem perekonomian dunia dikuasai oleh pemikiran ekonomi jahiliah (fikrah al-iqtishadiyyah al-jahiliah), yang berbasis pada sistem ribawi. Dengan adanya praktek ekonomi syariah dalam bentuk kelembagaan, seperti yang sedang dijalankan oleh bank syariah saat ini, tidak lain dalam rangka mengembalikan (ruju’ wal ‘audah) tatanan perekonomian dari fikrah al-iqtishadiyah ar-ribawiyah ke fikrah al-iqtishadiyyah al-islamiah (pemikiran ekonomi Islam). Karena, menurut Imam al-Jashshas, sistem iqtishadiah ar-ribawiyah telah dibatalkan dan diharamkan oleh Allah Swt semenjak datangnya Islam.

Dalam hal ini, peran serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak dapat diingkari lagi. MUI sebagai wadah ulama Indonesia, telah ikut berperan dalam mengarsiteki kelahiran bank syariah di Indonesia. Sebagai tanggung jawab moral, MUI akan selalu mengawal perjalanan perbankan syariah di Indonesia. Pengawalan ini sebagai wujud dari hifdz ad-dien, yaitu penjagaan praktek agama dari penyimpangan. Dalam hal ini, perlu adanya pagar untuk membatasi agar jalannya masih dalam koridor syariah. Di sinilah, fungsi fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sebagai rambu-rambu dalam memandu operasional lembaga keuangan syariah (LKS), khususnya di industri perbankan syariah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, selanjutnya akan diserap oleh pengambil kebijakan (regulator), seperti Bank Indonesia (BI) untuk industri perbankan syariah, Departemen Keuangan untuk industri asuransi dan pegadaian syariah, Bapepam LK untuk pasar modal dan reksadana syariah, serta Kementerian Koperasi dan UKM untuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Selain itu, wujud dari pengawalan praktek perbankan syariah di Indonesia terwakili melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada dalam setiap bank syariah.

Saat ini, eksistensi perbankan syariah tergolong masih belia (shaghir). Umurnya masih belasan tahun. Jika ada orang yang membandingkan dengan umur bank konvensional, perbandingan semacam ini tidaklah seimbang. Karena, dari sisi umur, bank konvensional sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sehingga wajar, jika masyarakat lebih terbiasa bertransaksi dengan bank konvensional. Dari sini, perlu ada kerja keras untuk mendakwahkan bank syariah ke masyarakat luas. Dakwah ini termasuk bagian dari edukasi (tarbiyah) ke masyarakat agar mengenal dan bergabung dalam barisan (shaf) orang-orang yang mempraktekkan ekonomi syariah.
Jika dibandingakan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, dalam mendakwahkan Islam ke masyarakat Makkah di awal Islam, proses sosialiasasi perbankan syariah ke masyarakat saat ini, sesungguhnya jauh lebih mudah. Karena, saat ini sudah tersedia media dakwah dan media sosialisasi yang variatif dan lebih komprehensif. Walaupun begitu, ada perbedaan mendasar yang belum ditemukan dalam proses mendakwahkan perbankan syariah, yaitu belum ditemukan sentuhan nurani, seperti yang pernah dijalankan dalam dakwah Nabi Muhammad Saw. Metode dakwah yang digunakan Nabi Muhammad Saw dalam mensosialisasikan Islam ke masyarakat syarat dengan kekuatan Ilahi. Ajakan yang diserukan oleh Nabi Muhammad Saw disampaikan dengan cara bil hikmah, sehingga ajaran Islam dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Bercermin dengan metode dakwah yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw, tidak ada salahnya jika kita, pihak-pihak yang menginginkan industri perbankan syariah sebagai rahmatan lil ‘alamin, menjadikan metode dakwah Nabi Muhammad Saw sebagai rujukan (marja’) dalam proses sosialisasi perbankan syariah ke tengah-tengah masyarakat. Saya yakin sosialisasi perbankan syariah ke masyarakat dapat dijalankan seperti apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw, karena sesungguhnya perbankan syariah itu merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Kalau hal ini sudah disadari oleh umat Islam Indonesia, bahwa mendakwahkan perbankan syariah adalah bagian dari pengamalan ajaran Islam, insyaallah tanggung jawab ini tidak hanya dipikul oleh MUI, Direktorat Perbankan Syariah BI, Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), tetapi menjadi tanggung jawab (mas’uliyah) umat Islam keseluruhan, untuk turut serta mendakwahkan perbankan syariah ke masyarakat lainnya.
Saat ini, dirasakan tepat sekali, jika menjadikan masjid sebagai simpul kekuatan umat Islam di Indonesia. Masjid atau musholla (langgar atau surau) merupakan tempat berkumpulnya umat Islam, baik untuk beribadah ataupun kegiatan sosial lainnya. Apalagi setiap hari Jum’at, umat Islam laki-laki, dituntut melaksanakan sholat jum’atan, sebagai suatu kewajiban. Ribuan masjid dan musholla yang tersebar dari Sabang di Aceh dan Merauke di Papua, dapat digunakan sebagai media dakwah untuk mensosialisasi-kan perbankan syariah. Disamping itu, berjuta-juta umat Islam berkumpul setiap hari Jum’at merupakan media dakwah yang efisien untuk menyampaikan pesan dakwah tentang perbankan syariah.
Di sisi lain, sosialisasi perbankan syariah dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan yang sudah ada, yaitu dengan memperkenalkan materi pelajaran perbankan syariah sebagai bagian dari muatan lokal. Baik lembaga pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama atau Departemen Pendidikan. Atau lembaga pendidikan yang berafiliasi ke salah satu organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, Jam’iyat Khair,dll. Hal ini, akan memberikan bekal bagi generasi yang masih muda untuk memahami perbankan syariah di masa mendatang. Generasi inilah yang diharapkan dapat memegang tongkat estafet pengembangan perbankan syariah di waktu yang akan datang.
Selain itu, disadari masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pengembangan bank syariah. Realita ini (al-waqi’iyah) perlu disikapi dengan penuh kearifan. Masalah yang penting, terkait dengan proses mendakwahkan eksistensi perbankan syariah terletak pada beberapa faktor, diantaranya (i) perlunya peningkatan kegiatan dakwah dan edukasi ke masyarakat; (ii) perlunya penambahan dana dalam kegiatan dakwah, dan (iii) perlunya sinergi kelembagaan.
Selama ini, dakwah mensosialisasikan perbankan syariah sudah sering dilakukan oleh beberapa lembaga nirlaba, seperti Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Walaupun, ada kesan apa yang dilakukan PKES masih dianggap sendirian (munfaridan). Ibarat dalam pertempuran (ghozwah), PKES bertempur sendirian menghadapi serangan dari pihak konvensional. Oleh karena itu, ke depan perlu kita mendukung kegiatan yang selama ini dilakukan oleh PKES. Di sisi lain, bentangan wilayah dakwah yang sangat luas, dari Sabang sampai Merauke, masih dirasa belum terjangkau semuanya. Masih membutuhkan tenaga yang besar untuk mendakwahkan perbankan syariah ke seantero Indonesia.
Selain itu, dalam proses dakwah mensosialisasikan perbankan syariah, masih memerlukan amunisi yang tidak sedikit. Baik, dalam bentuk tenaga ataupun dana. Oleh karenanya, diperlukan sinergi kelembagaan untuk mempercepat perkembangan bank syariah di Indonesia. Akhirnya, semoga ikhtiar kita menjadi catatan amal ibadah di sisi Allah Azza Wa Jalla. Wallahu ‘alam bis showab.

No comments:

Post a Comment

Alifia Ikutan Nari katanya