Kemudahan
Kebangkitan Islam merupakan fenomena sejarah nasional yang menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Kebangkitan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini, Al-Qur'an telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.
Kebangkitan yang sedang kita perbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Kebangkitan Islam mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an
Kebangkitan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran sejarahnya. Kebangkitan Islam mengambil bentuk aktivitas sosial yang mendidik generasi muda, memakmurkan masjid, dan membersihkan sifat-sifat tercela. Selain itu, kebangkitan Islam bergerak dalam bidang politik untuk menempatkan Islam dalam politik dan jihad. Mungkin sebagian besar perhatian ditujukan kepada al-Ikhwan al-Muslimun dan Jihad Islam, namun sebenarnya kebangkitan ini digerakkan oleh banyak organisasi Islam, meskipun tidak seluruhnya menarik untuk diperbincangkan.
Bahkan, gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan dengan pemikiran para pionir aktivis yang terorganisir an sich, melainkan harus pula melihat kecenderungan-kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial yang luas dan kesadaran membaja untuk memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan kembali ke pangkuan Islam telah mendorong umat untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam realitas kehidupan.
Persoalan kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan, sebab disetujui atau tidak, sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran tertentu dalam konteks kebangkitan. Peran tersebut tampak pada perilaku politik, apalagi dalam dunia pers dan pendidikan hukum, serta terutama dalam upaya menerapkan syariat Islam. Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan sejarah yang sempurna.
Kebangkitan Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Kebangkitan merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, kebangkitan Islam tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham. Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang kebangkitan Islam kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ini karena esensi kebangkitan tidak dapat dipahami tanpa mengembalikannya kepada akar-akar ini.
Penyertaan Qatar dalam pembahasan ini hanyalah sebagai negara yang mewakili tipe pemerintahan dalam masyarakat yang mempertahankan eksistensi keeropaan dan keislaman menuju satu kesatuan yang melampaui batas-batas geografis. Oleh karenanya, pembahasan ini terkadang tertuju kepada fanatisme nasional yang mengarah pada pemeliharaan negeri Qatar.
Bila kita berbicara mengenai kebangkitan sistem pemerintahan negara-negara Arab, maka sebaiknya kita mengingat bahwa masalah integrasi atau disintegrasi tidak dapat dikesampingkan. Meskipun secara teoretis, yang dijadikan objek kajian adalah nilai-nilai Qatar dan keintegrasiannya, namun situasi yang diamati adalah dampak kemerdekaan masyarakat Qatar dan integrasi dengan nilai-nilai Islam. Dampak langsung dari integrasi adalah tenggelamnya sistem lama di Qatar dan menangnya sistem lain. Kita akan mencermati contoh tersebut pada pembahasan mendatang.
Negara-negara Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas masyarakat Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan Islam saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat, kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam, dan revolusi kebangkitan Islam dalam bentuk revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab bekerja sama secara revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan di berbagai tempat dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas Dunia Islam dan internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam tak dapat dipahami tanpa menyinggung dimensi internasional.
Umat dan Negara-negara Kawasan Arab dalam Sejarah Islam
Islam menyatukan antara ideal-ideal absolut dan realitas nisbi. Ideal-ideal ini diabstraksikan dalam ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin syariah. Realitas merupakan kejadian-kejadian material dan situasional yang melingkupi kehidupan manusia. Sedangkan keberagamaan adalah kepercayaan psikis terhadap doktrin-doktrin kebenaran yang absolut, dan usaha kesejarahan merupakan upaya mendekatkan realitas dengan doktrin-doktrin, mengkontekstualkan iman dalam bentuk realitas yang paling ideal, dan selanjutnya berusaha terus menerus mengembangkan keagamaan menuju titik kesempurnaan ideal.
Bentuk negara Islam yang pertama dalam sejarah adalah negara Madinah yang dipandu oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk keperluan pertumbuhan regional, Rasulullah saw. menggariskan aturan-aturan regional. Al-Qur'an pun menetapkan pada akhir surat al-Anfal mengenai batasan-batasan loyalitas masyarakat yang terdiri atas penduduk asli dan imigran agar saling menjaga dan membantu.
Negara Madinah merupakan realitas regional yang berwawasan internasional. Negara ini telah melampaui realitas zamannya, sebab penduduknya percaya bahwa mereka merupakan bagian dari mata rantai umat Islam sebelumnya yang dipimpin para Rasul. Secara psikis, Madinah pun telah melampaui realitas regionalnya, sebab penduduknya telah terlibat aktif dalam konflik internasional dengan Persia dan Romawi, khususnya dalam konflik ekonomi, politik, dan agama. Negara Madinah dengan kondisinya tersebut kemudian mengokohkan Dunia Arab dan seluruh umat manusia di sana sebagai basis dan alat integrasi. Hal itu dikarenakan Arab mempunyai misi samawi.
Negara ideal berikutnya adalah Khilafah Rasyidah. Dalam sistem ini, penguasa menjadi pusat dan dorongan umum berangkat dari pusat kekuasaan. Dakwah dijalankan secara luar biasa hingga terbentuklah wilayah-wilayah baru yang berjauhan dan dihuni oleh masyarakat yang plural. Dipergunakanlah ungkapan-ungkapan politik syar'i yang sebagian kembali kepada masa kenabian. Negara-negara Arab merupakan dasar pembagian wilayah pemerintahan umum, peradilan, dan distribusi kekayaan. Dalam potret semacam ini, kesatuan kepemimpinan khilafah dijalankan tanpa pembagian kekuasaan. Di samping itu, terdapat kesatuan geografis Islam yang semula tidak mengenal kendala-kendala internal.
Meski terjadi perpecahan di kalangan penguasa serta fanatisme wilayah, etnis, dan golongan --setelah terjadi sistem pewarisan khilafah-- namun pola umum negara masih tetap berpedoman pada sistem kesatuan (integrasi). Para fuqaha yang juga merupakan para pemimpin bangsa dan idola masyarakat. Meskipun bersikap wajar terhadap para pemberontak, tetapi mereka tetap mentolerir pembagian wilayah dan upaya integrasi. Sedangkan dalam hal pemikiran, mereka mengakui eksistensi mazhab-mazhab dan kebebasan mengikutinya.
Pola ini berjalinan dengan faktor-faktor pengimbang yang ditemakan oleh masyarakat muslim dalam keluasan dan kecepatan ekspansinya untuk mewadahi pluralitas masyarakat dan kebudayaan. Ketika kondisi tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha integrasi, maka khalifah pada gilirannya hanya menjadi simbol dan hanya mampu bertahan ketika kekuatan pusat pemerintahan semakin menurun. Sehingga kondisi kritis mulai terjadi, fanatisme kelompok bermunculan, dan wilayah-wilayah lain beroposisi untuk membangun pola baru dalam realitas politik umat Islam.
Pola yang meniscayakan Dunia Islam hingga saat ini adalah satu bentuk pemerintahan dengan kesatuan umat (integrasi) dan meninggalkan kesatuan politik karena tersebar luasnya negara-negara Islam. Sebagian negara Islam mengalami perkembangan karena kemampuannya membuka diri untuk menyelesaikan masalah-masalah yang yang ditimbulkan akibat letak wilayah yang jauh dari pusat.
Pemerintahan Islam telah memelopori bahwa batasan-batasan regional tidak membagi-bagi kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa-penguasa politik. Hanya ada satu lapangan ilmiah, pasar ekonomi, dan konteks kebangsaan. Kesatuan undang-undang juga menjaga dominasi hukum-hukum syariat sehingga berkembanglah mazhab-mazhab fikih dan metode-metode tasawuf untuk menegaskan kesatuan umat dalam paguyuban tarekat. Suatu prediksi dapat dikemukakan bahwa wilayah Islam akan semakin menyatu secara peradaban melalui tersebarnya berbagai mazhab dan tarekat, pertukaran ilmu dan kebudayaan, dan komunikasi melalui migrasi manusia, ilmu, dan agama. Hal itu terjadi dalam kurun waktu yang panjang pasca runtuhnya pusat politik dan kediktatoran para penguasa di negara-negara Arab. Islam, pemanduan syariat, dan terbukanya kawasan merupakan faktor-faktor penjaga kesatuan umat.
Ketika Islam tidak lagi difungsikan sebagai pengikat hati antar umat, dihapuskannya syariat, dan penjajahan imperialis, maka negara-negara Arab pun terpecah belah. Tak ada yang tersisa dari wilayah Islam kecuali hanya persaudaraan dalam jiwa kaum muslimin, kegetiran masa lampau, dan mimpi masa depan.
Umat dan Negara-negara Kawasan Eropa: Sebuah Studi Komparasi
Perkembangan negara-negara Eropa disebabkan oleh terlepasnya mereka dari agamanya, konflik berkepanjangan dalam masyarakat dan pemerintahan, dan terlampau beratnya penderitaan yang mereka rasakan. Sementara itu, ekspansi Islam menjanjikan kehidupan baru bagi mereka. Sejarah Eropa menengarai bahwa kejatuhan tersebut bukan disebabkan oleh kelengahan, melainkan karena mengingkari dasar-dasar agama mereka. Jika cita-cita kebangkitan kaum muslimin diilhami oleh Kitab Suci yang terjaga (Al-Qur'an), maka masyarakat Barat menoreh sejarah mereka dengan revolusi anti-agama.
Mayoritas masyarakat Eropa berada di bawah pengaruh Kristen selama lebih dari sepuluh abad. Menurut mereka, kondisi tersebut merupakan contoh ideal tentang nasionalisme dan peradaban bagi dunia internasional. Dalam pandangan mereka, contoh ideal tersebut berupa kebesaran imperium dan hubungan harmonis dalam hak milik nasional dan negara-negara Eropa. Kemudian nasionalisme mulai memberi kekhususan kepada para raja. Negara-negara kawasan ini semakin kokoh menuju terbentuknya Eropa modern.
Kehancuran sistem internasional lama telah memicu lahirnya teori-teori kekuasaan yang memberi penekanan pada dominasi absolut dalam batas-batas regional seperti teori Machiavelli. Dominasi ini tampak jelas pada propaganda-propaganda imperium, Paus, dan kaum feodal. Teori-teori sosial itu mengokohkan dominasi raja dan para penguasa secara absolut.
Kemudian pemikiran politik mulai berkembang dan menyuarakan dominasi bangsa dan ide liberalisme demi keuntungan individu (yang diprakarsai John Locke, para pakar psikologi sesudahnya, dan kelompok radikal), kelompok-kelompok reformasi cita-cita umum (teori Rousseau), pelestarian sejarah masyarakat (teori Hegel), dan komunisme-materialisme (teori Karl Marx).
Nasionalisme telah menguatkan posisi negara yang mengambil bentuk politik, ekonomi, dan solidaritas sebagai pengisi kekosongan agama. Tumbuhlah perasaan khusus nasionalisme serta kekhususan bahasa dan tata bahasanya. Sejarah nasionalisme bergerak melemahkan kekhususan-kekhususan tersebut dengan berbagai utopia dan data. Nasionalisme membanggakan hal tersebut. Isme ini tumbuh di benua Eropa dan Amerika.
Meskipun dominasi nasionalisme di Eropa membawa pertumbuhan material, namun akhirnya Eropa merasa gamang terhadap penyimpangan pola negara semacam ini. Mungkin kegamangan tersebut merupakan dampak tradisi kebudayaan yang plural, perkembangan teori kemanusiaan, berbagai konflik nasional, dan terbatasnya ekspansi Eropa. Maka berdirilah sistem negara-negara Eropa di atas kaidah undang-undang negara. Negara-negara ini mempunyai kawasan yang terbatas, namun tenggelam dalam konflik pada masalah-masalah yang telah disepakati kaum muslimin di kawasan Daulah Islamiah.
Kesatuan Eksternal Menuju Pluralisme Internal di Dunia Arab
Kawasan negara-negara Arab telah keluar dari kekuasaan administratif kekhalifahan Utsmani. Pada umumnya, negara-negara tersebut memisahkan diri karena pengaruh kemerdekaan politik negara-negara imperialis. Pemisahan perdana merupakan sarana munculnya nasionalisme Arab, sebab hal itu merupakan bentuk pemerdekaan dari ikatan keagamaan dan beralih menjadi nasionalisme. Fenomena tersebut tidak persis sama dengan yang terjadi di Eropa, sebab ia bukan hasil perkembangan teoretis dan material sebagaimana yang terjadi di Eropa. Nasionalisme Eropa merupakan produk yang terkait dengan eksperimen dan faktor-faktor Eropa.
Eksperimen yang pernah dilakukan orang-orang Islam dan mayoritas orang-orang Nasrani Arab berbeda dengan yang terjadi dalam sejarah Eropa. Masyarakat Barat meyakini eksperimen Eropa sebagai eksperimen murni dan memandang dirinya sebagai pusat kebangkitan dan contoh ideal pencerahan umat manusia.
Padahal yang harus diketahui adalah bagaimana strategi Eropa dalam menghadapi kekhilafahan Utsmani di medan perang dan kepiawaian memanfaatkan propaganda, hubungan politik, dan diplomasi demi keuntungan mereka. Selain itu, terjadi perang intelektual antar keduanya. Walaupun sebenarnya persatuan umat Islam dalam kekhalifahan Utsmani masih terasa, tetapi tidak mencapai prestasi nasionalisme Eropa karena perbedaan perkembangan sejarah masing-masing.
Sekiranya Arab keluar dari kekuasaan Utsmani dan berdiri di atas landasan nasionalisme, tentu ia tidak mampu. Malah sebagai ganti penguasaan kekhilafahan Utsmani, berdirilah imperialisme di Dunia Arab. Akhirnya imperialisme membagi-bagi pengaruh dan batas-batas wilayah Arab berdasarkan realitas regional historis masing-masing wilayah yang sebelumnya bersatu. Imperialisme telah mengokohkan status pembagian tersebut untuk menarik keuntungan jangka pendek dan panjang, apalagi mereka bermaksud melapangkan jalan bagi kehadiran Zionisme di tengah-tengah Dunia Arab dan memutuskan hubungan Arab dengan Dunia Islam.
Ketika bangkit keinginan melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme, gerakan pembebasan Arab segera memisahkan diri dari kelompok-kelompok yang terpengaruh kebudayaan Eropa. Kelompok-kelompok nasional gigih memperjuangkan tercapainya kemerdekaan bagi negara yang mandiri, tetapi dengan konsep-konsep Eropa.
Masyarakat merasa perlu mengedepankan warisan keagamaannya untuk mengisi kesenjangan dan memfungsikan simbol-simbol keagamaan untuk membangkitkan semangat melawan kekuatan asing yang kafir. Dalam konteks ini, Islam merupakan unsur pembentuk jati diri negara dan pemantik semangat kebangsaan. Sangat memungkinkan untuk menggunakan faktor kekuatan Islam itu bila perjuangan menemui jalan buntu. Seluruh wilayah Afrika Utara adalah contoh terbaik dari kasus ini, apalagi perjuangan kaum muslimin Aljazair melawan imperialisme Perancis. Gema Islam pun terdengar hingga di Sudan, meskipun kontrol Arab-Islam di negara ini melemah.
Peran Islam dikenal pula dalam perjuangan nasional di luar negara-negara Arab, termasuk di negara-negara Asia seperti Iran, Afganistan, dan Pakistan. Peran ini tampak pada syiar yang ditonjolkan pasca-kemerdekaan. Akan tetapi, meski masyarakat muslim berkuah darah dalam perjuangan nasional, tetapi yang menikmati kue kemerdekaan adalah para nasionalis, sedangkan orang-orang Islam hanya menjadi penonton. Peran yang dilakoni dalam perjuangan kini tinggal kenangan. Itulah sebabnya, Islam tidak berperan lagi dalam mempengaruhi proses integrasi negara-negara Arab yang mandiri.
Meskipun kelompok pembebasan nasional di Dunia Arab berpedoman sekularisme dalam pembangunan negara, tetapi upaya tersebut tidak sukses sebagaimana keberhasilan Turki Muda mendepak sistem kekhalifahan. Mereka hanya berhasil mendirikan dasar-dasar negara nasional dan mempersoalkan integrasi. Konsep negara sekular semakin mendorong negara-negara Arab untuk meninggalkan sistem syariat dan mengembangkan sistem perundang-undangan yang tidak berdasarkan Islam. Sebagai contoh adalah Hizbul-Wafd (Partai Wafd) dan Hizbud-Dustuuri (Partai Perundang-undangan) di Tunisia.
Sebagian negara Teluk Arab selamat dari sekularisasi. Negara-negara tersebut tidak mungkin berdiri dengan batas-batasnya sendiri kecuali dengan desakan imperialisme atau situasi sejarah.
Walau negara-negara Arab memupuk fanatisme dan nasionalisme --bukan solidaritas kawasan-- namun hal tersebut tidak sampai memutuskan hubungan antar bangsa seperti di Eropa. Sejarah Arab kontemporer mencatat adanya berbagai ikhtiar untuk berintegrasi yang tak menyerupai bentuk integrasi apa pun di muka bumi, sebab negara-negara Arab mengupayakan integrasi dengan nasionalisme dan agamanya. Libya berusaha berintegrasi dengan lima negara Arab, serta Mesir dan Suriah masing-masing dengan empat negara. Tidak ada negara Arab yang tidak berusaha untuk berintegrasi, meskipun kenyataannya mereka masih terpecah-pecah.
Aliran Kebangkitan dan Pendiriannya
1. Kontribusi Kebangkitan Fiqih terhadap Masalah Kawasan
Jika kebangkitan menyandarkan sebagian usahanya pada landasan doktrin agama dengan ijtihad baru, maka warisan fikih Islam yang demikian melimpah membutuhkan pemecahan ijtihadiyah bagi berbagai problema negara-negara Arab.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fikih politik lahir pada era belakangan, sedangkan fikih-fikih lainnya telah berkembang pesat jauh sebelumnya. Barangkali citra negatif fikih politik disebabkan oleh tragedi politik yang terpisah dari etika keislaman dan aturan-aturan syara' sehingga para fuqaha dan penguasa saling menjaga jarak. Demikianlah, keimanan telah melemah dalam aspek politik, sedangkan ambisi kekuasaan, gejolak fanatisme, dan konflik kekuatan makin memuncak. Bila aktivitas kesyariahan dilakukan secara tertutup, maka ilmu pengetahuan pun menjadi tertutup. Ini mengakibatkan pakar politik tidak lagi memperhatikan hukum Islam dan kredibilitas para fuqaha dalam merumuskan permasalahan politik dan solusinya.
Seluruh dimensi fikih mengalami stagnasi ketika muncul fenomena berdirinya bermacam-macam negara di kawasan Islam. Sedangkan fikih tetap saja --sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab tentang hukum kerajaan-- berkutat dengan persoalan integrasi kepemimpinan negara, kecuali sebagian fuqaha yang berusaha memahami kemajemukan para pemimpin dan otentisitasnya berdasarkan keniscayaan berjauhannya kota-kota. Para fuqaha juga telah mengabaikan pemisahan yang terkadang terjadi antara sistem imamah dan imarah (kerajaan), padahal pemisahan tersebut berwatak agak sekular. Mereka pun mengabaikan berdirinya wilayah-wilayah yang mandiri secara de facto.
Al-Qur'an dan As-Sunnah mengemukakan masalah loyalitas dan tolong-menolong dalam ruang lingkup kenegaraan, sedangkan fikih mengedepankan problema-problema lokal berdasarkan pluralisme mazhab dan kaidah 'ijma dan mempersoalkan distribusi zakat dan hukum-hukum semacam itu. Para fuqaha merasa cukup dengan menjelajahi berbagai corak fikih yang berkembang antara yang khusus dan yang umum seiring dengan dominasi wilayah Islam yang belum mengenal batasan-batasan geografis. Mungkin cacat pensyariahan kekuasaan merupakan penyebab para fuqaha mengabaikan realitas tersebut secara sengaja, sebagaimana mereka mengabaikan peran pemerintah dalam dasar-dasar hukum dan Al-Qur'an.
Kebangkitan kontemporer pada dasarnya mulai menggeluti masalah tersebut, tetapi belum optimal, meskipun persoalan umum dan khusus telah mencuat dalam kehidupan bernegara, bahkan dalam kenyataan langsung pada lingkungan politik tempat berkembangnya kebangkitan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebangkitan pertama di Dunia Arab dipelopori oleh para ulama, namun mereka belum banyak menyentuh pemikiran politik negara untuk memecahkan problema negara-negara Arab yang diwarisi dari Barat.
Penyebab lainnya adalah bahwa kebangkitan Islam belum menyaksikan dinamika persoalan ini dalam sejarah Arab kontemporer. Masalah ini belum begitu tampak pada masa pemisahan diri dari kekhalifahan Utsmani dan belum mengkristal pada masa setelah merdeka dari imperialisme. Akan tetapi, kebangkitan Islam kemudian sempat menyaksikannya ketika terjadi kebangkitan nasional, eksperimen negara-negara Barat, dan upaya yang dilakukan negara-negara Arab untuk meresponnya dengan program-program integrasi dan ide-ide nasionalisme.
Pemikiran kebangkitan Islam secara umum telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perjuangan nasional dan kemerdekaan, sebab pemikiran tersebut berkonsentrasi pada masalah-masalah dan konsep-konsep keterbelakangan. Sementara dalam persoalan negara-negara Arab yang berakhir dengan perjuangan itu, penulis tidak mengetahui pemecahan-pemecahan yang dapat dicatat kecuali pernyataan-pernyataan umum Syekh Hassan al-Banna dalam mendefinisikan nasionalisme yang diartikannya sebagai realisasi loyalitas negara-negara Arab untuk mengembangkan kecintaan, kasih sayang, kebanggaan, dan kesetiaan tanpa merusak kepatuhan terhadap agama (ar-Rasaail ats-Tsalats).
Sayangnya, ketika seruan nasionalisme memuncak di Dunia Arab dan maraknya ajakan kepada isme ini yang melampaui kawasan Arab bahkan mengatasi Arabisme, kebangkitan Islam menghadapinya dengan menggalang solidaritas yang membahayakan loyalitas kebangsaan tinimbang mengajukan alternatif teoretis yang sebanding. Maka pengajuan alternatif-alternatif sebagaimana penulis katakan, merupakan periode yang belum dicapai kebangkitan Islam.
Ketika kebangkitan Islam telah mencapai periode tersebut dan mengalami kedewasaan, situasi politik tangan besi muncul memberangus kebebasan yang merupakan syarat bagi perkembangan, kehidupan, dan pertumbuhan bagi setiap pemikiran. Intimidasi turut menyibukkan keberadaan kebangkitan Islam dan menghalang-halanginya mengadakan dialog internal dan eksternal yang perlu dilakukan untuk mengembangkan ijtihad.
Pemikiran kebangkitan Islam harus membentangkan sayap untuk melawan, mendorong, serta memegangi dan berkomitmen pada dasar-dasar dinullah dalam menghadapi sistem nasionalisme bermuatan islami (sintesis antara nasionalisme dan Islam, --peny.) Oleh karena itu, berkembanglah pemikiran Sayyid Quthub dalam karyanya Fii Zilaalil-Qur'an dan Al-Ma'aalim fii ath-Thaariq yang mengecam penyembahan terhadap negara dan fanatisme nasional. Pemikir al-Ikhwan al-Muslimun ini mengabstraksikan konsep-konsep al-Hakimiyah dan tauhid di atas ungkapan-ungkapan, batasan, kemaslahatan, dan realitas, serta mengarahkan hukum-hukum kepada dimensi-dimensinya yang absolut.
Sekadar perbandingan, penulis mencoba meneliti kelompok-kelompok kebangkitan Islam di India yang secara tajam dihadapkan pada nasionalisme India yang mengkhawatirkan karena sangat membahayakan kaum muslimin sehingga mereka harus berpisah secara kultural dan geografis.
Abul A'la al-Maududi telah memberikan pemecahan terhadap masalah ini, yaitu dalam bentuk pemisahan negara. Pemikir produktif ini mengajukan model Barat dan tuntutan realitas (nasionalisme dan Islam), sebagaimana ia memecahkan problema negara kawasan setelah berdirinya Pakistan dan hubungannya dengan imigran muslim dan negara-negara Dunia Islam.
Kita dapat pula melihat perkembangan situasi yang diakibatkan oleh pemikiran kebangkitan setelah diserukannya ajakan umum untuk mengadakan program-program yang nyata di wilayah-wilayah yang lebih banyak memberikan kebebasan. Gerakan Islam di Tunisia dan Sudan merupakan contoh pemecahan problema-problema regional dan internasional, dengan mempertimbangkan Barat yang telah demikian menghegemonik di seluruh kawasan Arab dan tuntutan-tuntutan politik yang sedang dihadapi.
2. Diskursus Kebangkitan Islam: Untuk Persatuan Nasional dan Kawasan Negara (Tanah Air)
Ketika Arab bereaksi terhadap kekuasaan kekhalifahan Utsmani, Dunia Islam menyaksikan pemisahan sejarah antara kebangkitan masa lalu dan sekarang. Kebangkitan masa lalu merupakan reaksi langsung terhadap imperialisme dalam bentuk jihad yang menggelora di seluruh belahan Dunia Islam. Misalnya, gerakan Mahdiyah di Sudan dan jihad Islam di Afrika Barat, Timur, dan Utara. Gerakan Mahdiyah merupakan salah satu reaksi terhadap imperialisme yang menjadi rival kekhalifahan Utsmani. Gerakan ini mengatasnamakan Islam internasional, bukan hanya Sudan dan Arab saja .
Selain itu, kebangkitan Islam klasik mempunyai dimensi pemikiran pula sebagaimana ditampilkan oleh Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya, serta syekh-syekh di Syria. Pemikiran mereka mempropagandakan reformasi hubungan umat Islam, mengadakan komunikasi antar negara Dunia Islam, dan berusaha mengintegrasikan negara-negara Islam.
Syria dan negara-negara sekitarnya terlibat konflik dengan kekhalifahan Utsmani, lalu memisahkan diri dan menegakkan nasionalisme sendiri. Sejak itu nasionalisme mereka mengandung benih-benih pemikiran untuk memisahkan diri dari ikatan keislaman. Pemikiran nasionalisme mangalami polarisasi menuju model aliran dan pola politik Barat. Karenanya, kita tidak menemui adanya revolusi Arab terhadap kekhalifahan Utsmani, termasuk dari kalangan para pelopor nasionalisme, kecuali hanya "tes negatif" terhadap pemikiran kebangkitan Islam.
Kemudian berkembanglah pemikiran nasionalisme dalam dua versi karena perbedaan perumusan kesatuan nasional dan faktor-faktor lain dalam bidang pemikiran dan politik.
Versi pertama mengambil sikap kekiri-kirian. Mereka berjuang melawan zionisme dan imperialisme. Kelompok ini giat bergerak untuk mencapai integrasi yang tidak mampu direalisasikan oleh para pelopor solidaritas nasional. Sedangkan versi kedua adalah kekuatan politik yang membuat slogan-slogan sebagai simbol kekuatan politik yang defensif.
Masing-masing versi mengandung unsur sekularisme dan para pendukungnya membangun rivalitas dengan gerakan kebangkitan Islam. Karena gerakan kebangkitan Islam menekankan pemikiran dan politik, maka mereka menyerang sikap dan pemikiran kedua versi nasionalisme itu serta mempersoalkan dasar-dasar propaganda nasionalisme dan mempertanyakan tujuan-tujuannya. Para pelopor nasionalisme terlibat perdebatan dengan para pemikir-pejuang Islam hingga memenuhi halaman-halaman media dan publikasi sastra.
Seandainya tidak karena terbukanya pemikiran nasionalisme, pengaruh program-program persatuan nasional, dan kebesaran kebangkitan Islam, maka keadaan ini akan berhenti pada munculnya tesis-tesis nasionalisme, ide-ide dan kebijakan politik yang mengokohkan etnis, dan Islam sebagai faktor pendorong dan pengarah nasionalisme. Pada skala makro, pemikiran kebangkitan Islam tidak memberikan respon terhadap pengakomodasian tersebut. Pada umumnya, akomodasi semacam itu tidak akan berkembang, baik secara teoretis maupun politis (lihat kasus di Libya).
Di negara-negara Arab-Afrika pada umumnya, perdebatan antara Islam, nasionalisme, dan Arabisme tidak menyentuh aspek kebangsaan, tetapi terjadi perdebatan mengenai konsep-konsep kenegaraan versi Eropa. Para pendukung nasionalisme ingin merumuskan teori nasionalisme kawasan dan melestarikan kebangsaan. Mereka mengutarakan pandangan untuk meregionalkan bahasa dan dialek, mengadakan penulisan sejarah yang menanamkan kebanggaan terhadap tokoh-tokoh nasional, serta menegaskan semangat nasionalisme dan peran nasional yang khusus dalam misi internasional. Kelompok-kelompok ini muncul di Mesir. Mereka mengagungkan sejarah Fir'aun dan Eropa. Fenomena sejenis juga terlihat di Sudan dan negara-negara Afrika Utara.
Kelompok kebangkitan Islam memberikan reaksi keras terhadap fanatisme nasional ketika mereka menemukan unsur-unsur sekularisme dan afiliasi terhadap nilai-nilai Barat di dalamnya. Fanatisme semacam itu adalah fanatisme yang terputus dari umat Islam. Berbagai literatur kebangkitan Islam mengkritik nasionalisme Mesir yang kering analisisnya dalam menilai Eropa dan Islam serta pemikiran tokoh-tokoh seperti Luthfi Sayid, Thaha Husain, dan Salamah Musa.
3. Posisi Kebangkitan Politik dan Program Integrasi
Meskipun kebangkitan Islam memercayai slogan-slogan integrasi, namun belum melontarkan ide dan mendukung program pengintegrasian. Ini karena kebangkitan Islam masih sangat muda usianya dan baru berupa prinsip-prinsip dasar, sehingga belum menjejakkan kaki pada tataran aksi. Di samping itu, kebebasan dan ruang geraknya, terutama di bidang politik, masih dibatasi. Walaupun demikian, gerakan kebangkitan Islam harus menegaskan sikap politik dalam bentuk program-program integrasi atau kemerdekaan kawasan dengan posisinya sebagai kekuatan politik di lapangan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebangkitan Islam masih berseberangan dengan mayoritas program integrasi sehingga belum bersedia memberikan dukungan positif. Sikap ini disebabkan para aktivis Islam melihat hakikat integrasi sebagai ancaman yang akan menutup pintu kebebasan bagi gerakan kebangkitan.
Itulah sebabnya, gerakan kebangkitan Islam menentang program integrasi lembah sungai Nil, karena melalui program ini, pemerintah Mesir berusaha menekan gerakan Islam dari Mesir hingga Sudan.
Walaupun gerakan Islam di Sudan merupakan hasil ekspansi dari Mesir (melalui organisasi al-Ikhwan al-Muslimun, --peny.) dan perkembangan keadaan di Sudan sendiri, namun mereka berkeinginan membebaskan diri dari Mesir dan Inggris serta condong kepada para pelopor kemerdekaan Sudan.
Gerakan Islam di Suriah merasa perlu menyambut hangat integrasi Suriah-Mesir dalam Persatuan Arab Republik. Penulis mengetahui bahwa mereka tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Semua orang mengetahui bahwa sebenarnya gerakan Islam lebih menyukai pemisahan dari ikatan republik tersebut, karena dengan demikian negara-negara anggotanya dapat lebih bebas. Secara diam-diam, gerakan Islam di Yaman juga memusuhi upaya integrasi Yaman dengan pertimbangan kemaslahatan agama dan kebebasan. Kita tidak pernah mendengar bahwa gerakan kebangkitan Islam mendukung program-program kepemimpinan Libya yang terintegrasi begitu populer.
Demikianlah, pemerintahan kesatuan absolut menjadi kendala terbesar-bagi program integrasi. Pihak-pihak yang menikmati kekuasaan merasa tidak senang, kecuali diikutkan dalam perserikatan yang menguntungkan mereka. Di lain sisi gerakan Islam tidak menginginkan intervensi kekuasaan yang korup, tangan besi dan berwatak kiri (sosialis). Kepemimpinan sekular tidak menginginkan bentuk integrasi yang menyulitkan mereka dengan adanya nilai-nilai tradisional dan faktor-faktor yang dianggap menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
4. Tujuan kebangkitan Integratif
Apa yang hendak dicapai kelompok-kelompok kebangkitan Islam dari program-program integrasi? Sebenarnya, tujuan umum perkembangan kebangkitan Islam mengarah pada topik integrasi dan hubungan antarkawasan.
Kebangkitan Islam sendiri pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang terbatas. Dalam kaitannya dengan Islam, kebangkitan merupakan fenomena idealisme keagamaan. Agama yang diturunkan oleh Zat yang Maha Absolut (Islam) tentu tidak mengenal batas-batas ruang dan waktu atau etnis dan kelas sosial. Kaum muslimin selalu berusaha menuju pada titik kesatuan umat (terintegrasi) dengan berdasarkan pada keimanan kepada Allah yang Maha Esa, kesatuan prinsip dasar, kesatuan masa depan manusia, kesatuan tujuan hidup, kesatuan syariat, dan kesatuan gerakan persaudaraan dan persekutuan dalam ilmu, harta, dan kekuasaan.
Maka setelah gerakan kebangkitan memercayai kesatuan keagamaan, biasanya mereka kembali kepada kesatuan sejarah yang unsur-unsur pentingnya terdapat di segala penjuru. Di Mesir misalnya, muncul propaganda kebangkitan Islam yang diwakili oleh gerakan al-Ikhwan al-Muslimun dan kebangkitan kesusastraan Islam. Pengaruh berbagai studi, penerbitan, dan distribusinya di Mesir telah menggemuruhkan gema kebangkitan Islam dan membuat gerakan-gerakan Islam di Dunia Arab saling bekerja sama sejak pertengahan abad ke-20.
Tampaknya kebangkitan Islam dewasa ini merupakan gerakan pemikiran keagamaan terbesar yang mengekspresikan rumusan-rumusan, meliputi berbagai kawasan, membentuk kesatuan kaidah, emosi, dan pemikiran sebagai respon terhadap peristiwa-peristiwa di Dunia Islam, serta memiliki satu kesusastraan yang mengkondisikan masyarakat untuk saling mengenal dalam ruang lingkup yang luas.
Meskipun gerakan sosialisme dan nasionalisme, pertukaran buku dan pers Arab, distribusi pengajaran, peraturan-peraturan, dan industri perfilman Mesir begitu gencar, namun kebangkitan Islam merupakan faktor utama terbesar yang mendekatkan generasi muda dan bangsa-bangsa Arab dewasa ini satu sama lain. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kebangkitan Islam merupakan gejala khusus di kawasan barat dan timur Dunia Arab.
Penulis berpendapat bahwa ide integrasi telah berjuang dan bergelut dengan pemikiran kawasan, terutama Mesir yang bertipe Fir'aunisme dan Sudan yang bertipe Afrikanisme. Kedua negara tersebut lebih cenderung pada deintegrasi. Sedangkan Yaman berdiri sendiri karena membanggakan kekhususannya. Sebelum berdirinya republik dan masuknya negeri ini ke dalam kesatuan Arab, kebangkitan Islam direpresentasikan oleh gerakan keluarga menteri sebagai reaksi terhadap kebangkitan di Mesir.
5. Mengorganisasi Kebangkitan: antara Kesatuan dan Kawasan
Sekiranya Islam telah menjadi pandangan internasional dan kebangkitan Islam telah meliputi seluruh kawasan Arab, bahkan lebih luas lagi, maka gerakan-gerakan kebangkitan dapat membentuk jaringan keorganisasian yang integratif dan bertujuan khusus yang mengacu pada kesatuan Arab.
Di Arab terdapat organisasi-organisasi nasional seperti Ba'ath dan Nasionalisme Arab. Ada pula yang berpencar di sejumlah kawasan seperti Hizbut Tahrir al-Islam (yang pemikirannya merujuk karya-karya pemimpin mereka, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, --peny.). Di samping itu, ada pula gerakan komunisme yang cenderung berafiliasi ke luar Dunia Arab dan partai-partai nasional yang kurang berpengaruh.
Organisasi-organisasi Islam yang meski berbeda nama, tetapi masih bersandar pada al-Ikhwan al-Muslimun yang mempunyai jaringan yang lebih luas sehingga memungkinkan mereka menjadi perekat bangsa-bangsa Arab dewasa ini. Secara praktis, al-Ikhwan al-Muslimun telah tersebar luas di negara-negara sekitar Mesir dan cabang-cabangnya pun terus berkembang. Keorganisasian mereka telah menjangkau Dunia Arab meskipun pada waktu itu belum mencapai kawasan pinggiran. Akan tetapi, dalam perjalanannya, organisasi ini mengalami tekanan yang merusak laju perkembangannya.
Dinamika kultural yang bervariasi dan keberadaan berbagai organisasi mendorong perluasan dakwah Islam. Dalam kenyataan, berbagai organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kawasan yang tidak dihubungkan dengan ikatan keanggotaan dan kerja sama, melainkan hanya didasarkan atas emosi afiliasi, simbol-simbol kepemimpinan dan nama yang satu. Hal yang amat mencolok pada al-Ikhwan al-Muslimun adalah kelebihannya dalam berorganisasi.
Ada pula organisasi-organisasi Islam yang berdiri sendiri seperti di Sudan, Tunisia, dan daerah lainnya di pinggiran Dunia Arab. Mereka berlandaskan pada teori fikih yang menetapkan kesatuan sebagai tujuan dan hubungan antar kawasan sebagai jalan yang harus ditempuh. Mereka memahaminya sebagai analogi dengan keinternasionalan risalah Nabi Muhammad saw. dan keregionalan metode penyebaran dakwah yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga Arab seluruhnya dan belahan dunia lainnya.
Walaupun kelompok-kelompok Islam menginginkan terwujudnya kesatuan barisan Islam, namun tarikan-tarikan realitas dan batas-batas pemisah di kawasan Arab tidak memungkinkan mereka merealisasikan cita-cita itu.
Menuju Paradigma Fikih untuk Integrasi dan Kawasan
1. Keseimbangan Tauhid
Agama tauhid merupakan paradigma pengintegrasian dan perimbangan bagian-bagian. Kebebasan merupakan nilai esensial agama. Tanpa kebebasan tidak akan muncul kekuatan iman yang merdeka dan tidak tercapainya tujuan dalam berkreasi dan memberikan kontribusi nyata. Kesatuan juga merupakan nilai yang harus dimiliki, sebab tanpa kesatuan, tidak akan terkumpul dan terorganisasi suatu kekuatan.
Di atas dasar keseimbangan agama, terjadi hubungan antara individu yang bebas dan kelompok yang terorganisasi. Keduanya disatukan oleh akidah sebagai tujuan, ibadah sebagai jalan, dan syariat sebagai sumber rujukan. Berdasarkan gambaran tersebut, maka seluruh bentuk pemisah antar manusia, misalnya etnis atau wilayah, menyatu dalam Islam.
Islam menjaga keseimbangan, tidak bersikap berat sebelah. Tujuan sejarah pertumbuhan awal Islam adalah tauhid, sebab ia berhadapan dengan realitas jahiliah yang paganistik-syirik. Ikatan etnis, nasional, dan sejarah terkadang mejadikan orang bersikap fanatik sehingga memutuskan hubungan dengan yang lain. Setelah Islam datang, sisa-sisa kejahiliahan tersebut masih ada. Memang Rasulullah saw. tidak mengutak-atik masalah kesukuan, tidak mengingkari ikatan hijrah atau primordial, dan tidak pula meremehkan batas-batas wilayah. Akan tetapi, Rasulullah saw. mengembangkan seluruh aspek tersebut menuju kemaslahatan yang lebih besar bagi umat Islam. Ketika terjadi keseimbangan antar urusan dan prioritas di antara beberapa hal yang kontradiktif, mulai dari yang sederhana (misalnya urusan keluarga, tetangga, dan kelompok) hingga yang kompleks (misalnya problema umat manusia sedunia), maka hal itu diletakkan dalam paradigma kebenaran dan keadilan, sehingga dinilai sebagai loyalitas terhadap Allah yang Maha Besar dan diatur oleh syariatnya yang tinggi (Lihat al-Baqarah: 62, Ali Imran: 102, an-Nisa: 135, al-Anfal: 72, at-Taubah: 117, al-Mu'minun: 51-52, dan al-Hujurat: 8-12. Simak pula hadits-hadits tentang keutamaan bermacam-macam suku, kaum, tempat, dan kurun waklu, kemudian lihatlah keutamaan umat dan makna-makna persatuannya).
Selama realitas mengandung aneka ragam kekhasan masyarakat, maka keberagamaan mengalami kekhasan pula agar keduanya dapat sejalan. Jika daerah-daerah saling berjauhan sehingga penduduknya mengalami kesenjangan (terutama dalam hal informasi dan pemikiran, --peny.), maka dakwah Islam dapat dijalankan atas pertimbangan kondisi tempat dan hubungan antar penduduk diselaraskan dengannya, sehingga model pertahanan warganya didasarkan pada agama.
Karena terdapat perbedaan masyarakat dengan kekhasannya masing-masing, maka pesan dakwah harus menggunakan bahasa mereka dan isi pernyataan yang disampaikan sejalan dengan sejarahnya. Ikatan antar masyarakat diciptakan dalam rangka beribadah kepada-Nya dan mereka dibebani tugas menegakkan Islam sesuai dengan perintah Allah SWT. Jadi, bila terdapat kekurangan potensi dalam masyarakat, maka mereka diberi beban sesuai dengan kapasitas pemahaman dan kemampuannya.
Perbedaan-perbedaan natural tersebut merupakan ujian. Kondisi demikian merupakan kesempatan beribadah secara khusus dan bisa pula merupakan fitnah yang memancing kaum muslimin untuk merumuskan ciri-ciri khusus yang bersifat regional, nasional, dan sosial yang dilarang oleh Islam. Maka berubahlah hubungan menjadi fanatisme nasional, sejarah, kelas, atau kelompok yang menjauhkan manusia dari pola hubungan yang lebih tepat dan mulia. Kemudian mereka menundukkan kebenaran di bawah hawa nafsunya.
Dalam kondisi absurd semacam itu, iman dapat meluaskan horison pemikiran umat manusia; dari duniawi semata menuju keseimbangan duniawi ukhrawi, dari wilayah yang terbatas menuju seluruh penjuru bumi, dan dari golongan menuju kemanusiaan universal. Islam memberi tugas secara spesifik untuk diintegrasikan dalam dimensi-dimensi yang umum. Islam juga menegakkan keseimbangan agar kesatuan tidak berdiri di atas kebebasan mutlak sehingga melenyapkan unsurunsur khasnya. Demikian pula kebebasan tidak diarahkan untuk menghancurkan pemerintahan, melainkan untuk merealisasikan kebaikan sepenuhnya secara kuantitatif dan kualitatif.
Islam menyatukan umat secara keseluruhan dan Dar al-Islam sebagai acuan loyalitas keagamaan yang paling tinggi. Konsepsi Islam menghendaki negara dalam batas-batas yang luas di muka bumi dan menetapkan pusat kekuasaan sebagai pemersatu dan kepemimpinan yang paling besar.
Negara harus selalu terbuka untuk umat, bahkan selalu berhubungan melalui berbagai bentuk kerja sama dan bersikap transparan demi masa depan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang harus dijaga kerahasiaannya dalam rangka mengamankan eksistensi dan perjanjian negara.
Hendaknya negara menimbang kemampuan pusat-pusat loyalitas masyarakat bawah dan daerah-daerah, serta komunitas dan kelompok-kelompoknya. Negara harus mampu menyeimbangkan hak-hak mereka dengan hak penguasa pusat. Dalam hal ini, negara-negara Arab merupakan contoh yang baik. Hanya saja model ini harus diperbolehkan mengandung unsur-unsur cabang, dalam pengertian tidak harus berbentuk sentralisasi. Seharusnya tetap mengarah pada terbentuknya negara yang lebih luas kawasannya dan lebih komprehensif komunitasnya. Negara-negara Arab harus mengakar pada wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya dengan tujuan utama mengacu pada tercapainya keseimbangan dengan negara kesatuan yang terbesar.
2. Metode Integrasi
Sesungguhnya realitas Islam-Arab berangkat dari berbagai kawasan yang memiliki batas-batas kuat yang dijamin oleh pemerintahan sultan yang terpisah serta menjalin kemaslahatan-kemaslahatan khusus dan fanatisme warganya. Di balik itu terdapat pola kearaban yang berlandaskan kebudayaan, kesejarahan, kebaikan, dan optimisme. Selain itu terdapat pola Islam dari negara Islam dan bangsa-bangsanya yang menyatu dengan Arab dalam akidah, warisan, dan kerja sama.
Hal mendesak yang mesti diupayakan oleh gerakan kebangkitan Islam adalah mengadakan model integrasi dan menyatukan negara-negara yang terpisah-pisah. Sangat urgen mendiskursuskan apa dan bagaimana metode pengintegrasian yang dimaksud. Gerakan-gerakan kebangkitan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah menerapkan metode jihad untuk mengintegrasikan seluruh wilayah kaum muslimin. Gerakan yang paling terkenal adalah gerakan keluarga Fodio dan Umar al-Fauti di Afrika Barat serta al-Mahdi di Sudan. Kemungkinan, mereka mengidentikkan jihad dan ekspansinya dengan ekspansi orang-orang Islam masa lalu. Semangat pembebasan senantiasa mendorong mereka untuk tidak mengenal permusuhan dan tidak mendambakan tujuan lain selain menebarkan kebajikan bagi sekalian alam. Metode ini dapat diidentikkan dengan apa yang sekarang disebut revolusi.
Pengidentikkan dengan masa awal Islam merupakan hal yang tidak tepat, sebab pemerintahan masa lalu berbentuk imperium yang sangat luas sehingga tidak memungkinkan berdirinya negara-negara Islam (dalam bentuk yang lebih kecil) di sekelilingnya. Mempertahankan imperium tersebut merupakan kewajiban semua anggota masyarakat, bila perlu dengan berjihad. Begitulah kondisi gerakan jihad pada masa silam dan begitu pula seharusnya perjuangan Islam dewasa ini, sebab pada hakikatnya dunia tidaklah berubah secara prinsipil.
Bila pemerintah Islam menggerakkan revolusi jihad di suatu kawasan tertentu, maka mereka harus menetapkan batasan-batasan dan mengintegrasikan bumi masyarakat muslim di sekitarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa metode integrasi merupakan metode dominasi. Jika kondisi kawasan sebagai tempat kebangkitan Islam membutuhkan metode perlawanan yang serius, tentu hal itu akan menimbulkan goncangan untuk mencapai keseimbangan antara hal yang lama dengan yang baru, kemudian akan melahirkan ketidakstabilan hubungan antar negara tetangga karena dominasi sistem Islam. Mengenai perdebatan teoretis seputar penilaian terhadap benturan ini dan goncangan dalam teknik operasionalnya, hal tersebut dikembalikan pada keterbatasan dalam melihat dan memahami realitas serta kecenderungan hukum-hukum tambahan yang bersifat fragmentaris.
Kebangkitan Islam tidak harus didominasi oleh jihad fisik. Kebangkitan ini memikat hati sebagian penguasa sehingga mereka memengaruhi pakar dan praktisi hukum dan politik dalam rangka mencapai tujuan-tujuan utama kebangkitan. Mereka memahami bahwa hukum-hukum politik dan sikap berhati-hati diperlukan demi keamanan dan stabilitas negara. Para penguasa itu memberikan kesempatan kepada gerakan kebangkitan Islam untuk berkembang tanpa menunjukkan sikap permusuhan dan kekerasan. Terkadang lingkungan politik memang bersifat bebas dan revolusioner sehingga menumbuhkan tradisi toleran. Masyarakat menerima perubahan dengan kesadaran, bukan dengan paksaan pemerintah.
Kebangkitan yang didominasi oleh ajakan yang baik, kasih sayang, dan memperhatikan penahapan, dimaksudkan agar pandangan-dunia (worldview, weltanschaung) masyarakat selaras dengan dakwah tanpa dipaksa. Dengan teladan, bukan dengan paksaan. Islam tersebar dengan cara "sejuk" semacam itu di kalangan masyarakat jahiliah. Mereka merasa dilindungi dari penguasa diktator sehingga mereka memeluk Islam dengan senang hati. Kita harus memprioritaskan tersebarnya kebangkitan Islam di negeri-negeri muslim dengan damai.
Keinginan tersebut dapat terlaksana bila kaum muslimin dibebaskan memilih demokrasi dan diberi kesempatan menentukan jalan hidup negerinya secara mandiri tanpa diganggu rezim otoriter dan intervensi negara asing.
Sekiranya Allah SWT menghendaki kita menerapkan dua metode, yakni integrasi dakwah dan dakwah bertahap tanpa revolusi jihad yang frontal, maka strategi yang tepat adalah dengan mempersiapkan Dar al-Islam. Konsep ini dapat melunakkan batasan-batasan tajam antar bangsa Islam dalam berbagai aspek.
Hendaklah pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa muslim memfasilitasi pendekatan ini dengan memperlancar sarana transportasi dan komunikasi, meningkatkan manajemen, mendistribusikan kekayaan, serta menyatukan pola hidup dan kerja sama yang berdasarkan syariat. Diharapkan, kondisi saling mempercayai akan tercipta dan motivasi kebangsaan yang islami semakin menguat, sehingga pada saatnya, kondisi tersebut akan mengakibatkan desentralisasi.
Setiap wacana tentang integrasi menghajatkan adanya aturan kebangkitan Islam di berbagai penjuru dunia.
3. Tanah Air Arab
Jika kita memiliki pemahaman yang benar mengenai perimbangan integrasi, pluralitas konsep-konsep keislaman, dan keseimbangan antara individu-kelompok, negara-publik, komunitas masyarakat, dan Dar al-Islam, maka benar pula prediksi terhadap masa depan integrasi Islam, sunnah dakwah, dan risalah yang dimulai dari sektor domestik (rumah tangga) hingga publik. Bukankah Arab merupakan masyarakat sekaligus negara? Arab dapat menjadi kesatuan masyarakat yang selama ini merupakan gugusan negara-negara yang terpecah belah.
Gambaran di atas merupakan prediksi masa depan tentang Arab sebagai ikatan keluarga wilayah-wilayah dalam bangunan Islam. Bangsa-bangsa Arab merupakan satu rumpun secara geografis, sosial, dan historis. Oleh karenanya, integrasi Arab merupakan tahapan yang niscaya dalam proses pengintegrasian negara-negara muslim. Rencana ini dapat dimulai dari integrasi regional antar kota di Arab atau yang serupa itu. Perlu ditekankan agar upaya tersebut jangan sampai berhenti pada mekanisme tertutup dan tidak mempunyai jangkauan lebih luas bagi integrasi Arab dan kaum muslimin.
Rencana ini akan semakin kokoh bila kita mempelajari kenyataan di Dunia Arab. Di antaranya adalah bahwa di sebagian kawasan Arab terdapat minoritas non-Arab dan non-muslim, sehingga landasan utama integrasi merupakan masalah y ang harus dipikirkan .
Hal lain adalah bahwa sebagian negara Arab saling bertetangga dalam keislaman yang kokoh dan penduduknya pun saling berhubungan dengan baik. Realitas ini merupakan peluang untuk mengintegrasikan Arab dan Islam.
Aspek lain yang harus digarisbawahi adalah eksistensi gerakan kebangkitan Islam telah mendasari motif berintegrasi dan metode-metodenya pun makin jelas, sehingga kekuatan kebangkitan Islam di negara-negara Arab dapat bergerak memengaruhi negara-negara di luar Arab.
Merupakan keharusan bagi wacana kebangkitan Islam untuk berdialog dengan kelompok nasionalis Arab yang juga menginginkan integrasi. Sebelumnya, penulis menyatakan bahwa berdialog pada masa lalu merupakan langkah negatif. Ini karena nasionalisme yang didengungkan adalah nasionalisme yang merugikan umat Islam. Di samping itu terdapat afiliasi dengan aliran-aliran pemikiran sekularisme-materialisme Barat. Pada waktu itu, fanatisme etnis, kekafiran, dan permusuhan merupakan unsur yang menyertai nasionalisme Arab.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa nasionalisme merupakan ikatan integrasi yang dapat direkayasa para aktivis kebangkitan Islam dalam rangka mencapai integrasi negara-negara muslim.
Meskipun nasionalisme Arab telah terimbasi nilai-nilai etnis, kultural, dan peradaban Barat, namun nasionalisme ini tidak menyerah pada ideologi etnis dan sekularisme. Pada umumnya yang mendukung nasionalisme adalah negara-negara yang mengungkapkan nilai-nilai intrinsik Arab dan tidak memusuhi Islam. Mereka berwatak nasionalis-religius. Para pemimpin politik Arab mengedepankan nasionalisme sebagai simbol menuju integrasi negara-negara Arab.
Dalam realitas Dunia Arab terdapat keperluan-keperluan untuk mengintegrasikan nasionalisme ke dalam Islam. Sekalipun didukung oleh solidaritas yang kokoh seperti sekarang, nasionalisme tidak akan mampu menghadapi keinginan-keinginan kelompok di dalam negeri dan strategi belah bambu yang dilancarkan pihak imperialis. Kegagalan program-program integrasi yang telah dicanangkan menunjukkan keterbatasan motivasi integrasi nasional. Berarti program-program tersebut harus ditopang oleh motivasi integrasi keislaman yang aktif.
Nasionalisme tidak mampu memberikan isi, tujuan, dan metode integrasi yang komprehensif sebagaimana Islam yang mempertegas pilar-pilar kehidupan yang integratif dan solider. Solidaritas merupakan motor penggerak integrasi serta petunjuk bagi metode dan strateginya. Selain itu, Islam dapat memberikan aspek-aspek kehidupan yang diperlukan masyarakat Arab, yaitu: spiritualitas, sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan secara umum. Nasionalisme tidak dapat berbicara dalam ruang lingkup Dunia Arab, sedangkan Islam mampu membuka dan memperluas spektrum kearaban sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh sejarah.
Bila para aktivis Islam dan kaum nasionalis tidak merasa terpanggil oleh semangat menghidupkan keislaman dan toleransi kemanusiaan melalui dialog yang beranjak dari integrasi nasionalisme dengan Islam, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan di antara negara-negara Arab.
Mungkin kaum nasionalis sedang mengamati perkembangan dakwah Islam dengan serius, kegagalan berbagai proyek integrasi, dan kekurangan-kekurangan lainnya, sehingga mereka menyadari bahwa semua itu merupakan penyakit yang mengakar. Tidak ada penyembuhan bagi penyakit tersebut melainkan dengan obat kultural yang orisinal dan menyeluruh yang bersumber pada nilai-nilai dan warisan Islam. Kemungkinan para aktivis Islam pun menyadari bahwa integrasi Arab --meskipun motivasi-motivasi utamanya telah berbaur dengan berbagai unsur-- tetap mempunyai akar sejarah yang terpaut dengan Islam.
Insya Allah, fenomena temporal yang tidak menguntungkan bagi kebangkitan Islam akan lenyap, sehingga Arab tetap berpegang pada Islam. Pengagungan terhadap integrasi nasionalistis akan tenggelam dalam samudera keagungan Islam. Wallahu a'lam bish-shawab.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Motivasi Spiritual Karya pakar neurosains dan antropolog Terence Deacon memperlihatkan bahwa pencarian makna yang membuat manusia butuh b...
-
Terkadang dalam kehidupan sehari hari,para suami suka merendahkan peran istri dalam rumah tangga. Padahal pada kenyataannya istri sangat ...
-
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karen...
No comments:
Post a Comment