BANYAK pengamat yang menujukkan pandangannya pada gerakan Islam di Tunisia, khususnya gerakan yang memainkan peranan aktif bersama masyarakat Tunisia. Para pengamat tersebut mulai menginterpretasikan berbagai kelompok gerakan Islam. Sebagian kelompok itu bergerak di seputar tesis yang dibawa para islamolog yang dinilai tidak orisinal karena materi yang mereka sajikan serta klaim terhadap mereka sebagai agen politik. Setiap saat mereka mengenakan busana politik dan memperdagangkan trend-trend pemikiran umum dengan posisi-posisi situasional.
Mungkin para pengamat telah terjebak dalam interpretasi ala Abdul Baqi al-Harmasy yang menyimpang dari metode ilmiah dalam penelitian fenomena sosial. Bila mereka mengikuti interpretasi tersebut, mereka tentu akan sampai pada kesimpulan yang serupa dengan al-Harmasy, atau paling tidak mendekatinya, sebagaimana terdapat dalam studinya yang spektakuler, al-Islam al-Ihtijaaji bi Tunis.
Kepentingan penulis adalah menjelaskan fenomena Islam di Tunisia dari perspektif yang berbeda. Penulis memandang fenomena ini dari sudut akar-akar pemikiran yang melandasi terbentuknya fenomena Islam di Tunisia. Barangkali pendekatan ini akan menambah alternatif baru yang turut membantu para pengamat dalam menginterpretasikan pergolakan Islam di Tunisia dalam merespon tuntutan ruang dan waktu.
Fenomena Islam yang Kompleks
Meskipun ada anggapan mengenai keseragaman di antara berbagai macam aktivitas keislaman dari sisi kesamaan tujuan akhir, yaitu menghidupkan Islam, masyarakat, dan hukumnya, namun sebenarnya anggapan itu tidak tepat. Menurut penulis, fenomena Islam di Tunisia merupakan jalinan produk dari pergumulan dan dinamika antar tiga unsur gerakan Islam. Pergumulan ini bukanlah hal yang sederhana dan pengaruh masing-masing tidak mesti selalu sama. Pergumulan ini amat berat dan berbagai konflik --baik yang muncul maupun yang tersembunyi dan yang disadari maupun tidak-- selalu ada. Tiga unsur dimaksud adalah corak keislaman tradisional, keislaman salafi (revivalis), dan keislaman rasional.
1. Keislaman Tradisional
Keislaman tradisional di Tunisia terbentuk dari tiga elemen, yaitu: taklid dalam bidang fikih pada mazhab Maliki, teologi Asy'ariyah! dan pendidikan sufisme. Elemen-elemen tersebut disusun oleh Ibnu 'Aasyir, seorang faqih mazhab Maliki, dari bahan-bahan teologi Asy'ari, fiqih Imam Malik, dan tarekat Junaid al-Baghdadi.
2. Keislaman Revivalistik
Keislaman revivalistik (salafi) al-Ikhwani muncul di belahan negara-negara Timur berkat penyatuan elemen-elemen: metodologi revivalisme, pemikiran sosiopolitik, metode pedagogik, dan metode pemikiran.
Metodologi revivalisme dibangun di atas penolakan terhadap taklid mazhab fikih dan teologi serta bertujuan mengembalikan segala permasalahan pada sumber Islam: Al-Qur'an dan As-Sunnah, kehidupan Khulafa'ur-Rasyidin, para sahabat, dan tabi'in. Tujuan yang lain adalah memerangi paham wasilah (perantara) hubungan manusia dengan Allah dan bid'ah-bid'ah serta mengutamakan nash agama daripada rasio.
Pemikiran sosiopolitik ala al-Ikhwan al-Muslimun yang didasarkan atas keyakinan tentang kekomprehensifan Islam, kekuasaan (mutlak) di tangan Allah, dan pengkafiran sistem yang menolak doktrin ini.
Metode pedagogik menekankan aspek ketakwaan, penyerahan diri pada Allah, berzikir, berjihad, kebersamaan dalam jamaah, peningkatan iman, ukhuwah islamiyah, mengurangi kecintaan pada dunia, dan memperhatikan hal-hal sunnah sampai yang sekecil-kecilnya.
Metode pemikiran yang mengutamakan dimensi akidah-akhlak sedemikian rupa hingga menggolongkan manusia menjadi saudara dan musuh. Metode ini juga menolak realitas dan kebudayaan nonislami bahkan terhadap aliran-aliran pemikiran Islam yang lain sekalipun. Hal ini hampir membentuk sistem yang eksklusif.
3. Keislaman Rasional
Meskipun keislaman rasional belum mengekspesikan diri secara jelas, namun keberadaannya mulai tampak pada paruh kedua 1970-an. Sebenarnya corak keislaman ini telah ada lama sebelumnya tanpa disadari. Pada paruh pertama 1970-an, keislaman rasional telah disapu oleh gelombang keislaman salafi al-Ikhwan al-Muslimun. Pada akhir 1970-an dan 1980-an, situasi memungkinkan keislaman rasional untuk tampil kembali. Keislaman rasional terdiri atas beberapa elemen sebagai berikut.
Pertama, khazanah pemikiran Islam rasional yang dihadirkan kembali di alam kehidupan modern dewasa ini. Maka pemikiran Islam rasional Mu'tazilah kembali dimunculkan dengan gagasan-gagasannya mengenai kebebasan manusia, tauhid, keadilan, dan kemanusiaan. Selain itu, corak keislaman rasional pun membangun kembali semangat aliran-aliran oposan dalam sejarah politik Islam, seperti Khawarij, Syi'ah, dan aliran-aliran yang menentang kelompok Salafiah dan Ahlu Sunnah.
Kedua, kritik fundamental dan tajam terhadap pemahaman al-Ikhwan al-Muslimun dan sejenisnya terhadap Islam dalam kapasitasnya sebagai pendukung gerakan Salafiah dewasa ini. Keislaman rasional melihat al-Ikhwan al-Muslimun sebagai hambatan bagi perjalanan kebangkitan Islam.
Ketiga, mengadakan re-evaluasi terhadap aliran pembaruan yang diupayakan al-Ikhwan al-Muslimun dan buku-buku populer mereka yang menilai penafsiran keislaman rasional sebagai penyimpangan. Untuk pertama kali, kritik-kritik itu dilontarkan oleh sejumlah tokoh yang menguasai peradaban kontemporer, seperti: Muhammad Abduh, al-Kawakibi, Jamaluddin al-Afgani, Thanthawi, dan Qasim Amin.
Keempat, menerapkan pemahaman maknawi terhadap Islam dan menghindari pemahaman tekstual. Nash-nash harus dipahami dan ditakwilkan dalam perspektif tujuan yang tersembunyi di balik teks, yaitu: keadilan, tauhid, kebebasan, dan kemanusiaan.1 Nash-nash hadits dinilai kesahihan dan kedhaifannya bukan berdasarkan metode para pakar hadits dalam mentahkik riwayat, melainkan berdasarkan sesuai tidaknya dengan tujuan nash (al-Maqaashid).
Kelima, mengadakan evaluasi terhadap Barat-Kiri. Berbeda dengan al-Ikhwan al-Muslimun yang menilai Barat sebagai peradaban materialistik yang berada di ambang kehancuran sehingga tak ada yang dapat dimanfaatkan oleh Islam kecuali sains dan teknologinya an sich, maka kelompok Islam rasional memandang perlu untuk memanfaatkan sistem, kebudayaan, maupun ilmu-ilmu kemanusiaan Barat.
Keenam, sebagai lawan sikap keberagamaan al-Ikhwan al-Muslimun yang cenderung memandang manusia secara teologis, yakni mukmin dan kafir, keislaman rasional melihat manusia secara empiris atas dasar sosial-politik, yaitu nasionalis dan oposan, revolusioner dan konservatif, serta petani dan tuan tanah. Dalam perspektif kelompok ini, seseorang sangat mungkin menjadi Muslim-Marxis-Nasionalis.2
Ketujuh, mengevaluasi aliran pembaruan di Tunisia dengan membawakan ide-ide kontroversial seperti pembebasan kaum wanita dan rasionalisasi pendidikan.
Penulis mengatakan bahwa aliran Islam rasional belum menampakkan diri pada paruh pertama 1970-an, kecuali ketika terjadi berbagai ketegangan dan ketidakpuasan terhadap realitas gerakan Islam. Bahkan kelompok Islam rasional lebih banyak mempertahankan diri dari dominasi kelompok salafi-Ikhwan. Situasi perpolitikan paruh kedua 1970-an memberikan angin segar kepada kelompok ini untuk membawakan ide-ide pembaruannya melalui majalah al-Ma'rifah. Majalah ini didukung oleh literatur-literatur Barat karena lemahnya materi keagamaan di Tunisia pada umumnya setelah ditutupnya Universitas Zaituniyah. Angin segar itulah yang turut memainkan peranan dalam membangkitkan iklim rasionalisme yang pada gilirannya membentuk pola keislaman rasional.
Tidak diragukan bahwa pola keberagamaan ini tidak mengalami perkembangan dalam bentuk yang penulis kemukakan kecuali setelah akhir 1970-an.
Proses Pembentukan
Pertemuan aliran-aliran pemikiran ini tidak mungkin terjadi pada komunitas Islam di Tunisia tanpa melalui proses interaksi dan adaptasi di antara mereka, disadari atau tidak. Bagaimana pertemuan itu terjadi dan apa hasilnya? Kita akan menemukan jawaban atas pertanyaan ini pada pembahasan selanjutnya.
Pola keislaman di Tunisia tetap mempertahankan mazhab Maliki dan teologi Asy'ari pada batas-batas tertentu, serta melestarikan tradisi-tradisi keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi saw. dan pembacaan syair-syair sufistik yang telah mendarah daging dalam masyarakat. Akan tetapi kemudian, pola keislaman di negeri ini berhadapan dengan gelombang kritik kelompok salaf yang berusaha melenyapkan tradisi-tradisi tersebut dan bid'ah serta menawarkan konsep-konsep Islam yang murni, komprehensif, dan dasar-dasar pemerintahan Islam. Hal ini tidak asing dalam tradisi mazhab ushul Maliki.
Meskipun kelompok salaf tetap mempertahankan serangan mereka terhadap khurafat dan taklid buta dalam kehidupan ber-Islam di Tunisia, selain menyeru umat agar kembali ke sumber asal Islam, tetapi pada perkembangan berikutnya kelompok ini melunak ketika menghadapi realitas dan khawatir semakin dijauhi masyarakat. Wajar jika kemudian mereka melunakkan kritik-kritik terhadap taklid, para syekh tarekat, dan metode-metode sufisme termasuk tawassul kepada Rasulullah saw..
Kecenderungan pemikiran rasional lahir dalam situasi kritis. Sejak semula, mereka tidak puas terhadap pemikiran-pemikiran yang dominan, simbol-simbol, praktek-praktek dan bermacam-macam cara beragama. Maka reaksi keras dan respon terhadap realitas itu yang kemudian melahirkan corak keislaman yang diliputi oleh ketegangan karena kelompok dominan tidak membedakan secara arif dan rasional antara aspek yang harus dihancurkan dan yang harus dilestarikan, serta antara yang harus dihancurkan sekarang dan yang dapat ditunda.
Akan tetapi, apa yang terjadi? Tanpa dipikirkan matang-matang dan tanpa mengetahui secara pasti peranan gerakan ortodoks dalam kebangkitan dan pembaruan di Timur atau modernisasi di Barat, diseranglah kelompok ortodoks dan tradisional ini.3 Serangan berikutnya berkembang menjadi kritik secara menyeluruh terhadap Ahlu Sunnah yang diharapkan dapat melancarkan proses pembentukan simbol-simbol keislaman yang rasional pada era mendekati dasawarsa 1980an. Proses tersebut tidak berhasil, dan kelompok Islam rasional hanya berwujud gerakan sempalan yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk Kiri-Islam. Kemudian mereka memilih para ahli keislaman (islamolog) yang berpikiran maju.
Upaya ini tidak mampu mencegah pergumulan di kalangan al-Jamaah al-Islamiyah yang berhasil menarik lebih banyak pakar keislaman di Tunisia. Pada pertengahan 1981, kelompok ini mengeluarkan pernyataan untuk mengadakan penertiban politik dengan nama Gerakan Islami, sehingga pergumulan pemikiran Islam terus berlangsung di antara ketiga aliran. Ditinjau dari perspektif keorganisasian, pergumulan tersebut mengungkapkan adanya krisis tersembunyi ataupun terang-terangan.
Corak keislaman ala al-Ikhwan al-Muslimun merupakan unsur terkuat dibandingkan kedua unsur lainnya. Sedangkan kelompok Islam rasional mempunyai peranan penting dalam melancarkan kritik yang terus berkembang dalam gerakan Islam.
Organisasi-organisasi keislaman tradisional mempertahankan diri dengan simbol-simbol mereka ketika berhadapan dengan serangan kelompok salafi. Berbagai kritik ditujukan kepada metode pemikiran dan strategi dakwah kelompok tradisional. Islam tradisional menekankan melalui petunjukpetunjuk pemimpin dan organisasi untuk menghindari benturan dengan mazhab dan tasawuf. Bahkan lebih jauh, mereka berpikir untuk membakukan mazhab Maliki sebagai pegangan. Meskipun ajakan untuk merujuk pada mazhab Maliki tidak menjadi keputusan formal, namun sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa keislaman tradisional telah menjerumuskan diri pada peran pinggiran.
Belum lagi menginjak dasawarsa 1970-an, mayoritas aktivis gerakan telah meninggalkan masalah ini. Mereka juga memutuskan diri dari gerakan dan sebagian lainnya meninggalkan praktek-praktek ibadah lama seperti tawassul dan tasawuf. Bahkan mereka mulai menjaga jarak dari para syekh tarekat dan sufi. Sebagai gantinya, diadakanlah pertemuan-pertemuan di antara mereka yang melepaskan diri dari keislaman salafi. Sebagai referensi, mereka menekuni kitab-kitab Syekh Nashiruddin al-Albani dan Jabir al-Jazairi.
Gerakan ini tumbuh dalam pengaruh keislaman rasional. Semakin menjamurlah gerakan-gerakan mahasiswa di akhir 1970-an. Mereka memosisikan dirinya dalam arus utama (mainstream) pergumulan ideologi dan politik yang berobsesi memajukan Islam bukan sebagai gerakan dakwah, melainkan sebagai pemikiran ideologi internasional. Seiring dengan dinamika sosial, mereka pun berkembang pesat melalui kerja sama dengan al-Ikhwan al-Muslimun. Akan tetapi, kemudian mereka memandang al-Ikhwan al-Muslimun sebagai eksperimen dan bukan alternatif, ia merupakan ijtihad islami, tetapi bukanlah Islam itu sendiri.
Dinamika sosial-politik ternyata berdampak besar dalam memandang realitas sebagai ganti pandangan teologis yang senantiasa melihat masyarakat dari kacamata agama. Interaksi pemikiran dengan kelompok oposisi dan pengkajian ulang terhadap problema-problema sosial --seperti masalah keluarga, kedudukan wanita, pemilikan, dan penolakan terhadap kekerasan--merupakan teknik dalam konflik pemikiran. Aspek-aspek tersebut mempunyai andil dalam kembalinya keislaman ala al-Ikhwan al-Muslimun.
Beberapa kritik internal yang acapkali dialamatkan kepada keislaman versi al-Ikhwan al-Muslimun tipe lama adalah sebagai berikut.
Pertama, kerja sama dengan eksperimen Iran pada akhir 1970-an dalam bentuk yang berbeda dengan gerakan Islam salaf. Semangat revolusi Iran sangat luar biasa dan tak tertandingi oleh gerakan Islam mana pun, bahkan oleh gerakan di luar Islam. Kerja sama tersebut berpengaruh besar bagi perkembangan pemikiran politik dan gerakan massa, sekalipun terkadang ditemui sikap-sikap yang berlebihan di dalamnya.
Kedua, kerja sama dengan eksperimen Sudan. Eksperimen ini merupakan ikhtiar gerakan Islam Sunni untuk mengatasi pandangan kontemporer mengenai kelompok salaf serta membangun corak hubungan tertentu antara kelompok salaf fundamentalis dan realitas kebudayaan kontemporer. Eksperimen Sudan mempunyai pengaruh praktis bagi perkembangan Jamaah Islam di Tunisia pada level fundamental, sosial, dan mahasiswa.
Ketiga, kerja sama dengan berbagai kelompok. Oleh karena itu, belum sampai dua bulan mengumumkan peraturan penetapan bermacam-macam kelompok, Jamaah Islam telah mengumumkan pembentukan gerakan politik, yakni Harakatul-Ittijaahil-Islami (Jiwan, 1981). Tidaklah mungkin menginterpretasikan hal itu dan menerima gerakan sejak terjadinya hubungan saling berdampingan dan berdialog dengan partai-partai komunis dan sekularis untuk memperkuat gerakan-gerakan di dalam negeri.
Keempat, kerja sama antara keislaman salafi dan rasional tidak terbatas pada bidang politik, tetapi juga pada pemikiran sosial-politik. Upaya-upaya yang ditekankan oleh gerakan --khususnya gerakan mahasiswa-- adalah diskursus sosial, yakni usaha menggunakan setiap revolusi sosial untuk memahami paradoks-paradoks dan konflik-konflik nasional atau regional antar berbagai kelompok masyarakat. Berbagai paradoks dan konflik yang semakin meningkat terjadi di antara kalangan tertindas dengan kaum feodalis-kapitalis dari jajaran birokrasi. Kondisi ini merupakan salah satu faktor pendorong menguatnya gerakan Islam kontemporer.
Di antara fenomena dinamika ini adalah perubahan pandangan tentang sistem dari pandangan teologis --yang berkecenderungan mengkafirkan sistem yang dianggap tidak islami-- ke pandangan sosiopolitik teologis yang komprehensif. Pandangan yang disebut terakhir meliputi kediktatoran sistem, kesewenang-wenangan, ketidakefektifan, dan sikap kebarat-baratan.
Salah satu fenomena perubahan tersebut adalah perubahan pemahaman dari reaksi terhadap berbagai kemelut --dengan asumsi bahwa perekayasanya adalah kaum komunis dan seolah-olah Allah hanya menciptakan kita untuk melawan mereka-- ke penggalangan kekuatan untuk memecahkan problema nyata masyarakat yaitu keterbelakangan dan sikap mengekor terhadap dunia luar dalam berbagai bentuknya.
Penjelasan paling awal yang diberikan oleh gerakan dalam kiprahnya memasuki wilayah politik adalah sejak peristiwa '26 (Janfi, 1978). Gerakan menghadapi sistem penguasa secara gigih dan bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa politik.
Sejak 1980, berlangsung diskusi di masjid-masjid yang membahas solusi islami atas problema-problema dalam dunia kerja dalam rangka memperingati Hari Buruh. Selanjutnya, acara ini dicontoh oleh masyarakat umum di desa-desa. Sejumlah pendidik membahas permasalahan sosial dalam perspektif Islam pada peringatan Hari Buruh di sebuah masjid yang dihadiri oleh lebih dari lima ratus aktivis pada 1980. Setahun kemudian pada acara dan tempat yang sama, diadakan ceramah mengenai masalah hak milik pertanian dalam Islam dan proposal pelaksanannya.
Sedangkan keislaman rasional mulai meninggalkan sikap berlebihan dan meringankan serangan-serangannya terhadap kelompok salafi dan tradisional. Hal itu menandakan munculnya keseriusan untuk menjauhkan diri dari sikap merendahkan kelompok-kelompok lain. Kelompok Islam rasional pun mulai meninggalkan Kiri Islam dan mencoba lebih mengapresiasi perasaan salafi.
Meski demikian, kelompok Islam rasional masih tetap mempertahankan pandangan pokoknya yakni mengutamakan rasio daripada teks meskipun mereka telah membangun hubungan dialektis antara rasio dan teks dalam wacana baru. Pada dasarnya, bentuk baru ini tidak berubah drastis dari bentuk sebelumnya. Padahal kompromi antara wahyu dan rasio tidak dapat diterima oleh kelompok fundamentalis Islam.
Kelompok Islam rasional masih tetap mempertahankan tesisnya bahwa perkembangan syariat sejalan dengan perkembangan realitas tanpa membedakan antara ajaran yang baku (tsabaat) dan yang berkembang (tathawwur). Bahkan bagi aliran ini, perkembangan yang melampaui teks-teks qath'i sekalipun dapat dipertimbangkan demi mewujudkan maqaasid (tujuan inti suatu doktrin), misalnya dalam masalah poligami. Majalah al-Ahwaal asy-Syakhsyiyyah yang menyatakan diri sebagai corong liberasi (pembebasan) juga menempatkan rasio dan bukan teks sebagai parameter pemikiran.
Sebelumnya, kelompok Islam rasional melancarkan serangan pemikiran terhadap kelompok salafi secara terus menerus. Kelompok ini juga mengerahkan kemampuan optimalnya untuk mendekati aliran kiri (Kiri-Marxis, pen.) pada level teoretis dan praktis, baik dengan mengadopsi pemahaman Marxisme ortodoks maupun Neomarxisme.
Dalam sebuah wawancara dengan pers Afrika tentang perspektif gerakan Islam, seorang tokoh Islam rasional ditanya mengenai partai apa yang akan dipilihnya. Ia menjawab akan memilih partai komunis karena dinilainya mempunyai program yang jelas. Sementara itu di kampus-kampus, para mahasiswa Islam progresif berkoalisi dengan front kontra-Islam.
Seiring dengan konflik-konflik yang terjadi, terjalin pula kerja sama antara kelompok tradisional, salafi, dan rasional, atau dengan kata lain, antara tradisi, teks, dan realitas. Akan tetapi, kerja sama tersebut sangat sulit terealisasi.
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apa agenda gerakan Islam pada awal 1980-an dan awal abad ke-15 Hijriah? Apa yang masih tersisa dari pemikiran Islam kalangan tradisional dan salafi pasca perubahan pandangan pada Muktamar Luar Biasa April 1981? Apa pandangan Muktamar mengenai masalah poligami, sikap politik, kedudukan wanita, dan distribusi kekayaan negara?
Aspek yang tersisa dari kelompok tradisional adalah apresiasi terhadap ciri-ciri khususnya, yakni mengapresiasi mazhab Maliki sebagai teknik pelaksanaan ibadah, tradisi-tradisi keagamaan, memperbaiki pengamalannya dengan melepaskan diri dari bid'ah, dan tidak melarang pertemuan dan afiliasi terhadap gerakan dengan membiarkan gerakan berkembang secara natural melalui aktivitas-aktivitasnya.
Aspek yang tersisa dari keislaman salafi ala al-Ikhwan al-Muslimun adalah penerapan pandangan khas mereka dan hasilnya yang dapat diringkas menjadi tiga butir sebagai berikut.
Pertama, rujukan kaum muslimin adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa takwil yang menyimpang dan jauh dari teks (nash). Peran rasio bukanlah sebagai sumber hukum syariat, melainkan hanya sebagai alat bantu untuk memahami redaksi nash, kejelasan pesan, dan ber-istinbath (mengambil konklusi) dari teks dengan metodologi yang telah disepakati para ulama.
Telah disepakati bahwa pembuat hukum adalah Allah SWT. Karena itu, syariat bersifat tetap meskipun fikih dapat berkembang atau berubah sejalan dengan kondisi masyarakat. Seorang muslim yang telah mencapai tingkat mujtahid atau orang-orang yang mempunyai otoritas di bidang fikih dapat memilih pandangan-pandangan fikih, baik yang klasik maupun modern, sepanjang pilihan itu relevan dengan situasi kondisi dan tidak menyimpang dari garis pemikiran Islam. Seorang muslim yang ahli dalam ushul fikih hendaklah mengambil konklusi dari dasar-dasar hukum Islam.
Kedua, mempercayai kekomprehensifan dan relevansi Islam untuk segala zaman, wilayah, dan manusia. Islam juga sejalan dengan pluralisme dan kecenderungan-kecenderungan seluruh umat manusia.
Ketiga, menyadari pentingnya kerja kolektif yang terorganisasi untuk mengadakan perubahan metodologi Islam dalam rangka menerapkannya sebagai sistem kehidupan dan peradaban yang praktis.
Sedangkan yang tersisa dari keislaman rasional di Tunisia adalah elemen-elemen pemikiran Islam sebagai berikut.
Pertama, menekankan pentingnya pembebasan dari taklid terhadap tradisi. Contoh-contoh yang pernah terjadi dalam sejarah Islam tidak ada yang harus dipertahankan kecuali teks-teks agama itu sendiri dan hubungannya dengan realitas. Metode yang ditempuh adalah berijtihad untuk menarik konklusi pemikiran-pemikiran baru mengenai masyarakat dan peradaban.
Kedua, menekankan pentingnya memahami realitas dan perkembangan lokal (nasional) dan internasional. Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan masyarakat baru yang mempunyai rasio terbuka dan jiwa yang bebas.
Ketiga, menegaskan diakuinya hak berbeda pendapat dalam hal-hal ijtihadiyah, namun harus disertai dengan kesatuan barisan umat Islam.
Demikianlah pembahasan penulis. Semoga ada manfaatnya bagi kebangkitan Islam yang kita nanti-nantikan.
Wallahu a'lamu bish-shawwab
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Motivasi Spiritual Karya pakar neurosains dan antropolog Terence Deacon memperlihatkan bahwa pencarian makna yang membuat manusia butuh b...
-
Terkadang dalam kehidupan sehari hari,para suami suka merendahkan peran istri dalam rumah tangga. Padahal pada kenyataannya istri sangat ...
-
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karen...
No comments:
Post a Comment