REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Dalam sebuah riwayat yang dituturkan Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda, “Sekiranya aku punya emas sebesar gunung Uhud ini, niscaya aku
tidak akan senang jika sampai berlalu lebih dari tiga hari, meski
padaku hanya ada sedikit emas, kecuali akan aku pakai untuk membayar
hutang yang menjadi tanggunganku” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Itulah
kesederhanaan hidup yang dicontohkan Rasulullah. Beliau adalah tipe
manusia yang paling sederhana di kolong jagad ini. Tidak gemar menumpuk
harta, kecuali hanya untuk modal hidup. Dapat dipahami jika saat wafat,
baju besi beliau digadaikan kepada seorang Yahudi untuk ditukar dengan
gandum sebagai warisan bagi keluarga beliau.
Sebagai pemimpin
yang menggenggam kekuasaan dan pengaruh besar, tentu Rasulullah mampu
hidup bergelimang harta. Tetapi beliau lebih memilih hidup secara
sederhana. Posisi terpandang dan disegani seluruh masyarakat Arab tidak
lantas beliau manfaatkan sebagai batu loncatan untuk mengeruk kekayaan
bagi diri dan sanak famili.
Itulah yang membedakan Rasulullah
dengan pemimpin kebanyakan. Beliau menjadi besar karena membesarkan
umat. Bukan memperalat umat demi membesarkan nama pribadi. Gelar Al-Amin
sudah melekat pada nama beliau sedari muda. Gelar mulia itu diakui oleh
kawan sekaligus lawan.
Kesederhanaan juga diajarkan Rasulullah
dalam urusan ibadah. Ketika beliau masuk masjid dan mendapati seutas
tali memanjang antara dua tiang, beliau bertanya, “Tali apakah ini?”
Setelah dijawab bahwa tali itu milik Zainab yang digunakan untuk
bertopang ketika ia lelah melakukan shalat, Rasulullah lantas bersabda,
“Lepaskan saja. Hendaklah seseorang melakukan shalat ketika sedang
bersemangat. Jika sudah letih, hendaklah ia tidur” (HR Al-Bukhari dan
Muslim).
Demikian pula ketika beliau menasihati Abdullah bin Amr
bin Al-Ash yang menyatakan hendak menghabiskan siang untuk berpuasa dan
malam untuk shalat sunnah, sepanjang hidup.
“Jangan begitu. Berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah,
karena sungguh untuk tubuhmu ada hak atas dirimu, kedua matamu ada hak
atas dirimu, isterimu ada hak atas dirimu, untuk tamumu juga ada hak
atas dirimu.” Ketika Abdullah bin Amr bin Al-Ash bersikeras ingin
memperbanyak puasa sunnah, beliau bersabda, “Kalau begitu berpuasalah
seperti Nabi Dawud--berpuasa sehari, berbuka sehari--dan jangan engkau
tambah lagi dari itu” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Betapa indah
menjalani hidup demikian. Kita bisa bekerja tanpa harus silau terhadap
harta. Selalu ada jeda untuk melangitkan setiap urusan dunia melalui
rangkaian ibadah. Kita juga tidak lari dari realita dunia dengan dalih
ibadah. Seperti Rasulullah, beliau ahli ibadah, tetapi masih memiliki
kesempatan untuk menikmati makanan, minuman, pakaian, dan hiburan.
Beliau bahkan tidur dan beristirahat, menikah dan bercengkerama dengan
keluarga.
Kita yang mengaku umat beliau justru merasa susah
mempraktikkan kesederhanaan dalam urusan dunia. Alam keseharian kita
seolah tidak memberikan ruang untuk tidak terpukau kemilau harta.
Ironisnya, kita begitu mudah untuk mempraktikkan kesederhanaan dalam
urusan ibadah. Jadilah kita begitu rajin mengumpulkan investasi dunia
sembari mengabaikan tabungan akhirat.
Sekalinya kita mampu
sederhana dalam urusan dunia, ternyata bukan sebuah pilihan, melainkan
keterpaksaan akibat kehilangan daya saing untuk meraup harta. Begitu
terlempang jalan di depan mata, berjuta cara segera kita tempuh agar
dapat merengkuh harta tanpa mengindahkan perkara halal atau haram.
Disadari,
memang tidak ada manusia di bumi yang sanggup meniru persis perilaku
Rasulullah. Tetapi mengamalkan ajaran Rasulullah secara tebang pilih
jelas bukan sebuah sikap bijak. Tidak pantas kita berlaku sederhana
dalam urusan ibadah, sementara loba dalam urusan dunia. Ketika kita
berhasil berlaku sederhana dalam urusan ibadah, jangan-jangan itu bukan
mengamalkan ajaran Rasulullah, melainkan wujud kemalasan kita dalam
beribadah.
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Motivasi Spiritual Karya pakar neurosains dan antropolog Terence Deacon memperlihatkan bahwa pencarian makna yang membuat manusia butuh b...
-
Terkadang dalam kehidupan sehari hari,para suami suka merendahkan peran istri dalam rumah tangga. Padahal pada kenyataannya istri sangat ...
-
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karen...
No comments:
Post a Comment