A. DEFINISI FAQIR
1.
IMAM GHOZALI
Al-Ghazali
dalam kitabnya banyak menyetir hadits-hadits yang bagi penulis tidak jelas
perowinya, menunjukkan keutamaan-keutamaan orang fakir. Seperti dalam hadits
yang ada dalam buku berjudul ‘RINGKASAN IHYA’ UMULUDDIN AL-ghazali’ tertulis
bahwa ada sebuah hadis dari
Haids
dari Imran bin Husain diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw
bersabda,
‘
Sesungguhnya Allah menyintai orang fakir yang menjaga kehormatan diri, yang
menjadi bapak keluarga.’
Dalam hadis lain Rasulullah saw juga bersabda,’ orang-orang fakir dari umatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan selisih waktu lima ratus tahun.’
Diriwayatkan oleh At-Turmidzi dari Abu Umamah bahwa Rasulullah menceritakan pengalamannya bertemu dengan malaikat Jibril. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah saw,’ wahai Muhammad, sesungguhnya Allah swt menyampaikan salam kepadamu. Dia berfirman : apakah engkau menginginkan jika Aku menjadikan gunung sebagai emas dan selalu bersamamu ?’ Rasulullah menjawab,’ sesunggunya dunia hanyalah kampung bagi orang yang tidak memiliki harta dan harta hanya dikumpulkan bagi orang-orang yang tidak mempunyai akal,’ Jibril a.s berkata, ‘wahai Muhammad, semoga Allah meneguhkan engkau dengan kalimat yang teguh ( hikmah ).’
Dalam hadis lain Rasulullah saw juga bersabda,’ orang-orang fakir dari umatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan selisih waktu lima ratus tahun.’
Diriwayatkan oleh At-Turmidzi dari Abu Umamah bahwa Rasulullah menceritakan pengalamannya bertemu dengan malaikat Jibril. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah saw,’ wahai Muhammad, sesungguhnya Allah swt menyampaikan salam kepadamu. Dia berfirman : apakah engkau menginginkan jika Aku menjadikan gunung sebagai emas dan selalu bersamamu ?’ Rasulullah menjawab,’ sesunggunya dunia hanyalah kampung bagi orang yang tidak memiliki harta dan harta hanya dikumpulkan bagi orang-orang yang tidak mempunyai akal,’ Jibril a.s berkata, ‘wahai Muhammad, semoga Allah meneguhkan engkau dengan kalimat yang teguh ( hikmah ).’
Dalam
hadis lain disebutkan,’ para nabi yang paling akhir masuk surga adalah Sulaiman
putra Dawud as karena kedudukan kerajaannya. Dan sahabatku yang paling akhir
masuk surga adalah Abdurrrahman bin Auf karena harta kekayaannya.’
Orang-orang
fakir yang ikhlas dan tak berkeluh kesah menghadapi keadaannya adalah manusia
yang paling utama. Ia tenang dan qanaah dari apa yang diterimanya atas karunia
Allah. Karena itu Rasulullah saw bersabda,’berbahagialah orang yang mendapatkan
petunjuk kepada Islam dan kehidupannya merasa cukup (tidak menjadi beban orang
lain) dan puas apa yang ada.
Rasulullah saw bersabda,’wahai golongan orang-orang yang fakir, berikanlah keridhaan dari hati kamu kepada Allah pasti kamu akan mendapatkan kebahagiaan dengan pahala kefakiran.
Rasulullah saw bersabda,’wahai golongan orang-orang yang fakir, berikanlah keridhaan dari hati kamu kepada Allah pasti kamu akan mendapatkan kebahagiaan dengan pahala kefakiran.
Apabila tidak kamu tidak memperolehnya.’
Orang
fakir yang qanaah dan ikhlas akan mendapatkan pahala. Sedangkan fakir yang
rakus sama sekali tidak mendapatkan pahala dari kemiskinannya itu. Diterangkan
bahwa orang-orang fakir yang sabar akan duduk berkumpul dan dekat dengan Allah
di hari kiamat. Rasulullah saw bersabda,’ sesungguhnya setiap sesuatu itu
mempunyai kunci. Adapun kunci surga adalah menyintai orang-orang miskin dan
orang-orang fakir, karena kesabaran mereka. Mereka adalah orang-orang yang
duduk berkumpul dekat Allah pada hari kiamat.
2. JUNAIDI AL BAGHDADI
Junaid
Al Baghdadi mengatakan, “Wahai kaum fakir, kau dikenal melalui Allah dan
dihormati demi Allah. Jagalah perilakumu bilamana kau sendirian dengan-Nya.
Serendah-rendah manusia adalah dia yang dianggap taat kepada Allah, namun
sebenarnya tidak. Sedangkan manusia yang paling mulia adalah dia yang tidak
dianggap taat kepada Allah, namun sesungguhnya dia taat.
Dengan makna hakiki kefakiran di ataslah dapat kita renungkan hadits Nabi saw. berikut,”Ya Tuhanku, hidupkanlah aku dalam kefakiran, dan matikanlah aku dalam kefakiran, dan bangkit dari kematian di antara kaum fakir.”
Dengan makna hakiki kefakiran di ataslah dapat kita renungkan hadits Nabi saw. berikut,”Ya Tuhanku, hidupkanlah aku dalam kefakiran, dan matikanlah aku dalam kefakiran, dan bangkit dari kematian di antara kaum fakir.”
3
HAMZAH FAZURI
Uraian
tentang faqir sebagai salah satu konsep kunci tasawuf bertalian dengan maqamat,
terutama sekali gambarannya secara simbolik, dijumpai banyak sekali dalam
syair-syair Hamzah Fansuri. Kata-kata faqir bahkan dijadikan penanda kesufian
atau kepengarangan, sering pula ditamsilkan sebagai anak dagang atau anak jamu
(orang yang bertamu). Penamsilan ini diambil dari al-Qur’ an dan Hadis, dan
memiliki kontek sejarah, khususnya sejarah penyebaran Islam di kepulauan
Nusantara.
Arti
kata dagang dalam bahasa Melayu pada mulanya ialah merantau ke tempat lain dan
menjadi orang asing di tempat tinggalnya yang baru. Kata-kata ini diterjemahkan
dari kata Arab gharib (asing) dan selalu dirujuk pada Hadis, ”Kun fi al-dunya
ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur”
(”Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara dalam
perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”)
Begitu
pula pengertian faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak
lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata ke pada Tuhan. Dua ayat
al-Qur`an yang dijadikan rujukan,Yaitu
Al BAqarah Ayat 268
Al BAqarah Ayat 268
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya
: Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu
berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan
daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
dan Q Al FATHIR Ayat 15.
dan Q Al FATHIR Ayat 15.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ
وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya
”Hai manusia ! Kamulah yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan Allah, Dialah
yang maha kaya lagi maha terpuji.”
Jelaslah
bahwa yang dimaksud faqir bukanlah orang miskin dalam artian harfiah. Ibn Abu
`Ishaq al-Kalabadhi dalam bukunya al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf
)abad ke-11 M) mengutip Ibn al-Jalla yang mengatakan, ’Kefaqiran ialah bahwa
tiada sesuatu pun yang menjadi milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak
boleh menjadi milikmu’. Ini sejalan dengan firman Tuhan, ’Sedangkan mereka
lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).
4.
Ali Uthman al-Hujwiri
Dalam
kitabnya Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan, ”Laysa al-faqr
man khala min al-zad, inna-ma al-faqr man khala min al-murad, yakni ’Faqir
bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya
hampa dari nafsu rendah’.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, ”Min na`t al-faqr
hifzzhu sirrihi wa syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’, yakni ’Ciri faqir
ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari
kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.” (Nicholson 1982:35).
B.
KEFAQIRAN HAKIKI.
Kefakiran
mempunyai bentuk (rasm) dan hakikat. Bentuknya adalah kemiskinan, sedangkan
hakikatnya adalah keberuntungan dan pilihan bebas. Dia yang memandang bentuk,
bertumpu pada bentuk, dan karena gagal mencapai sasarannya, lari dari hakikat.
Namun, dia yang menemukan hakikat, mencegah pandangannya dari semua ciptaan, dan
dalam peniadaan segala selain-Nya dengan sempurna. Karena hanya dengan
memandang kepada Yang Maha Esa, maka dia menuju hidup yang kekal.
Nabi
saw. dalam salah satu riwayat bersabda, “Pada Hari Kebangkitan, Allah akan
berkata, ‘Bawalah olehmu orang-orang yang Kucintai mendekat kepada-Ku’;
kemudian malaikat-malaikat akan berkata,’Siapakah orang-orang yang Kau cintai?’
Allah pun menjawab,’Orang-orang fakir dan yang tak punya’.”
Dalam
pandangan Farid Al-Din ‘Aththar, kefakiran merupakan rangkaian tahapan dari
perjalanan spiritual seorang mu’min. Tahapan tersebut adalah thalab
(pencarian), ‘isyq (cinta), ma’rifah (pengenalan), istighna’ (merasa puas),
faqr (kefakiran) dan fana’ (lebur). Pembahasan tentang selain kefakiran dan
merasa puas bukanlah tujuan dari tulisan ini, sehingga tidak akan kita
perpanjang di sini.
C.
SIFAT ORANG-FAQIR
Al Quran menggambarkan sifat orang fakir ini sebagai berikut,
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya : (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah 2: 273)
Abul
Al Hasan Nuri, sebagaimana dikutip oleh Al Hujwiri dalam Kasyful Mahjub
menggambarkan ciri seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa
pun, dia diam; dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain
lebih berhak memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah
memberikannya.
Pada prakteknya hal ini mengandung makna yang penting, yaitu pertama, ketawakalannya bila tidak memperoleh sesuatu dia ridha, dan bila memperoleh sesuatu adalah cinta, karena “ridha” berarti “menerima jubah kehormatan”. Jubah kehormatan adalah tanda kedekatan, sedangkan pencinta menolak jubah kehormatan karena hal itu merupakan tanda pemisahan.
Kedua, ketawakalannya, bila tidak memperoleh sesuatu, adalah berharap; dan bila memperoleh sesuatu adalah menolaknya. Bila sesuatu yang diharapkan tersebut adalah “selain Allah” maka ditolaknya, juga bila sesuatu yang diperolehnya adalah “selain Allah” maka diapun menolaknya.
Sifat utama faqir adalah wawasan dan pengetahuannya yang luas, moralnya terpuji, hatinya senantiasa berkobar disebabkan bara cinta ilahi, hatinya wara` dan zuhud. Selain Nabi, pribadi seperti itu dijumpai dalam diri Ali bin Abi Thalib. Iqbal memberi contoh kefakiran Imam Ali tatkala beliau memimpin pasukan Islam merebut bukit Khaibar dari pendudukan kaum Yahudi. Kemenangan pasukan Islam ketika itu bukan semata disebabkan kekuatan ekonomi dan pemilikan senjata, melainkan disebabkan oleh tingginya moral dan ketangguhan spiritual
Dalam gagasan ini seorang faqir adalah pribadi wara` dan zuhud. Dalam mengerjakan sesuatu tidak pernah dibebani pamrih dan kepentingan diri. Kezuhudannya juga tidak membuatnya benci kepada dunia. Faqr semacam itu bisa kita jumpai dalam pribadi-pribadi besar seperti Imam Husein, Salahudin al-Ayubi, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, Pangeran Diponegoro dan Ayatullah Khomeini.
Pada prakteknya hal ini mengandung makna yang penting, yaitu pertama, ketawakalannya bila tidak memperoleh sesuatu dia ridha, dan bila memperoleh sesuatu adalah cinta, karena “ridha” berarti “menerima jubah kehormatan”. Jubah kehormatan adalah tanda kedekatan, sedangkan pencinta menolak jubah kehormatan karena hal itu merupakan tanda pemisahan.
Kedua, ketawakalannya, bila tidak memperoleh sesuatu, adalah berharap; dan bila memperoleh sesuatu adalah menolaknya. Bila sesuatu yang diharapkan tersebut adalah “selain Allah” maka ditolaknya, juga bila sesuatu yang diperolehnya adalah “selain Allah” maka diapun menolaknya.
Sifat utama faqir adalah wawasan dan pengetahuannya yang luas, moralnya terpuji, hatinya senantiasa berkobar disebabkan bara cinta ilahi, hatinya wara` dan zuhud. Selain Nabi, pribadi seperti itu dijumpai dalam diri Ali bin Abi Thalib. Iqbal memberi contoh kefakiran Imam Ali tatkala beliau memimpin pasukan Islam merebut bukit Khaibar dari pendudukan kaum Yahudi. Kemenangan pasukan Islam ketika itu bukan semata disebabkan kekuatan ekonomi dan pemilikan senjata, melainkan disebabkan oleh tingginya moral dan ketangguhan spiritual
Dalam gagasan ini seorang faqir adalah pribadi wara` dan zuhud. Dalam mengerjakan sesuatu tidak pernah dibebani pamrih dan kepentingan diri. Kezuhudannya juga tidak membuatnya benci kepada dunia. Faqr semacam itu bisa kita jumpai dalam pribadi-pribadi besar seperti Imam Husein, Salahudin al-Ayubi, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, Pangeran Diponegoro dan Ayatullah Khomeini.
Kesimpulan
Dalam
kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa fakir itu adalah orang
yang tidak memiliki harta sama sekali. Kemudian Imam Al-Ghazali
mengkasifikasikan hakikat fakir itu dan memberinya masing-masing nama ;
Hal
yang pertama, adalah jika orang itu diberi harta, orang itu tidak menyukainya
dan orang itu merasa tersiksa dengan harta tersebut. Maka orang itu disebut
zuhud
Hal
yang kedua, ialah orang tersebut tidak menyukai harta walaupun orang itu
berhasil memperoleh harta tersebut dengan penuh kesenangan. Tapi orang tersebut
tidak membenci dengan harta yang diperolhnya itu, maka ia disebut rela
Hal
yang ketiga, yaitu orang tersebut diberi harta namun tidak sampai harta
tersebut menggerakkan orang itu untuk mencarinya, tapi orang itu tetap mau
mengambilnya.maka sifat itu disebut qona’ah.
Hal yang keempat, orang tersebut lemah dalam
mencari harta namun ia tetap mau mencarinya walupun dengan bersusah payah,
hanya karena kerakusannya. Orang ini disebut rakus harta.Hal yang kelima, orang tersebut tidak memiliki harta sama sekali kalaupun ada orang tersebut masih saja dibilang telanjang kalaupun memakai pakaian. Maka orang itu disebut ‘terpaksa’